Sebuah Pengantar AntologiLumbung Puisi Jlid IV
Banyak margasatwa kita yang punah. Ketika
kapal kapal asing yang nyolong ikan ditembak ditenggelamkan, Anda tidak tahu
berbagai jenis kera dari rumpun yang sama Sumatra/Kalimantan di colong juga.
Apa yang ditembak apa yang ditenggelamkan. Sebab malingnya tidak kemana-mana
masih berada di luar negeri. Orang kitalah yang memperkaya diri.
Beberapa tahun lalu ada bangkai kawanan
gajah, tetapi gadingnya sudah tak menempel di kepalanya.
Lalu burung-burung luar
negeri yang mungkin bawa penyakit datang dari celah-celah pagar negeri ,
mengisi sangkar-sangkar hobies burung berkicau.
Dan sungguh luar biasa
lagi, ada orang pekerjaannya melawan maut, memburu buaya ganas di sungai-sungai
buas. Ternyata mereka mengambil kulit buaya itu.
Sejak doeloe nama hewan menjadi nama kiasan
untuk menamai manusia seperti contohnya 'lintah darat (rentenir), 'kuda hitam
(sosok tak diduga), 'anjing menggonggong (mereka yang suka usil), 'macan tua (
tokoh tua) , macan ompong (tokoh yang sudah tak punya taring lagi) , 'kupu-kupu
malam (lonte) , ular kepala dua (mata-mata) , kura-kura dalam perahu, katak
dalam tempurung dan sebagainya. Ini artinya manusia menamai perilaku manusia
lagi dengan perumpamaan hewan. Jadi bukan sekarang saja tetapi sejak dulu.
Ternyata margasatwa (binatang) kita penuh
filosofi, kelakuan binatang kadang cermin buat filosofi hidup. Bukan berarti
lebih baik binatang dari manusia, tetapi manusialah yang mirip perilaku
binatang. Atau bisa juga binatang lebih baik perilakunya ketimbang segelintir
manusia yang kadang tak memiliki norma. Tetapi pernyataan ini jangan
ditafsirkan demikian sebab puisi adalah gambaran , sebuah gambaran yang
memiliki ragam apresiasi. Boleh jadi apresiasi itu berbeda dari sebuah puisi.
Makna yang sama arti pun berbeda bila dipadukan dengan kata lain, bukan. Nah
kalau begitu puisi adalah permainan kata-kata.
Jika puisi adalah
permainan kata-kata maka tak perlu mempercayai puisi. Memang. Bukankah puisi
itu seni? dan dinikmati? . Jangan salah juga bila apresiasi juga menimbulkan
kepercayaan terhadap puisi. Buktinya banyak puisi yang memberikan kenyataan
zaman. Sebab penyair menuangkan isi hati dari semua pancaindera yang
dirasakan.Sebegitu dasyatnya puisi melahirkan berbagai tafsir dan perumpamaan.
Tetapi sebagai manusia tetap puisi tak perlu didewakan atau dipuja. Puisi
adalah puisi yang memiliki jiwa, seni, dan juga hidup.
Memang penyair itu
pinter, tema margasatwa jadi tema 'marga satwa. Katanya kalau dipenggal menjadi
dua kata ada marga dan satwa kalau dipisah menjadi marga satwa semakin
bertambah luas tema ini, tapi tidak mengapa tambah seru. Itulah penyair kadang
bilang ‘A sama-sama , bukan A besar dan a kecil tetapi katanya a bagiku berarti
lain. Bisa saja ‘a berarti satuan
nominal eceran, ada juga ‘a berarti pertanyaan, ‘a berarti orang (si a) atau ‘a
berarti keuntungan dsb.
Sebaliknya ada ungkapan
hewan tetapi disukai masyarakat seperti 'Kecil-kecil kuda kuningan, 'Maung
Bandung, "Ayam Kinantan, 'Banteng Ketaton, Cendrawasih dari Timur, dan
lain-lain.
Dan dalam buku ini
pembaca budiman diajak untuk ‘bercengkerama dengan puisi-puisi karya penyair
Indonesia dalam antologi khas bertema
margasatwa ini yang merupakan Antologi Lumbung Puisi Jilid IV Sastrawan
Indonesia.(rg bagus warsono,2016, kurator, tinggal di Indramayu)
Selamat mengapresiasi.
Penyelenggara.
Hmpunan
Masyarakat Gemar membaca (HMGM)