Jumat, 20 Juni 2014

PUISI MENOLAK KORUPSI (PMK) ANTOLOGI PUISI TERDASYAT oleh Rg Bagus Warsono

Pemberantasan korupsi setengah hati
Adalah Indonesia di 2013 ini. Sebuah negeri yang mendambakan bebas dari korup tetapi cita-cita itu digarap  dengan setengah hati. Sejak masalah korupsi dimasukan dalam ketetapan MPR di awal reformasi, garapan pemerintah yang berkuasa sepenjang era ini sampai sekarang dapat diambil kesimpulan hanyalah dagelan dan suguhan tontonan yang klasik bagi bangsa ini. Karena hasil dari kerja pemerintah yang berkuasa dari mulai pemerintahan BJ Habibie, Abdurrachman Wahid, Megawati, sampai SBY tak ada prestasi yang cukup dinilai baik dalam ukuran nasional tentang garapan pemberantasan korupsi.
Semua hanya omong kosong/ bualan , slogan verbalis, dan program ngambang yang bertujuan untuk membodohi rakyat. Berapa trilyun uang negara yang dikorupsi dan berapa uang yang kembali, serta berapa oknum yang menjadi tersangka dan berapa orang yang korup dijebloskan penjara masih belum mencapai prosentase yang dapat dinilai baik.
Harapan rakyat kepada penegak hukum akan pemberantasan korupsi sebetulnya sudah dipercayakan pada penyelenggara penegakan hukum itu seperti Kepolisian, Kejaksaan, Kehakiman, sampai KPK, namun rakyat hanya menaruh harapan terus menerus tanpa melihat hasil yang berdampak pada perubahan karakter bangsa ini. Malah justru perilaku korup semakin menjadi-jadi. Akhirnya tumpuan harapan kepercayaan itu makin tak jelas dan akhirnya menjadi masa-bodoh dan akhirnya terserah saja pada yang menyelenggarakan pemerintah ini.

Bermula
Dunia sastra Indonesia 2013 dikejutkan dengan adanya karya puisi menolak korupsi yang ditulis oleh sastrawan se Nusantara. Seperti tersiram hujan semua rumput “nglilir” bergerak dan serentak dalam satu keinginan untuk negerinya menolak korupsi di Tanah Air ini. Lebih dari 200 sastrawan dari seluruh penjuru Tanah air terlibat menulis dalam antologi puisi yang bertema Puisi Menolak Korupsi (PMK). Adalah Leak Sosiawan (47) sastrawan asal Solo yang memiliki gagasan yang pada mulanya merupakan kegiatan seni sastra dengan menerbitkan antologi puisi menolak korupsi kini telah menjadi sebuah gerakan nasional dari kalangan sastrawan yang merasa terpanggil untuk menyelamatkan Indonesia dari bahaya korupsi.
Sumbangsih penyair untuk negeri
Dunia menyoroti kita sebagai salah satu negeri terkorup. Negara-negara donatur sudah geram melihat tingkah pejabat kita yang korup. Media bingung memberitakan kasus korupsi yang mana yang harus di beritakan pagi hari, karena saking banyaknya kasus korupsi yang masuk di meja redaksi. Alim ulama tak henti-henti menggemborkan utuk menyelamatkan negeri ini.
Sesekali tokoh muncul anti korupsi hanya untuk meraih suara, sudah itu ia juga termasuk dan melakukan korupsi. Lalu yang berteriak lantang membasmi korupsi kemuadian terikan itu menjadi lagu nostalgia yang membikin orang kantuk. Pendek kata hanya isapan jempol semata.
Disinilah penyair dengan berbagai keberadaannya yang sama sekali tidak ada perhatian dari pemerintah, bahkan boleh jadi pada komunitasnya yang ‘terpinggirkan’ dan mungkin ‘terbuang’ ikut memberikan sumbangsih dalam menyelamatkan negeri ini dari acaman bahaya korupsi. Melalui karya Puisi Menolak Korupsi mereka suguhkan untuk khalayak masyarakat Indonesia untuk dapat memberikaa apresiasi terhadap karyanya. Diharapkan melalui karya ini dapat mengajak masyarakat untuk menolak korupsi di manapun tempat.
Kelihatannya seperti tak ada artinya puisi menolak korupsi atau penyair menolak korupsi. Penegak hokum  yang memiliki tanggung jawab pemberantasan korupsi yang ada di Indonesia juga susah menghadapi masalah korupsi ini, apalagi penyair yang tak punya apa-apa. Ditilik dari tindakan mungkin belum ada arti, namun melalui puisi menolak korupsi yang dibaca jutaan manusia Indonesia akan dapat menyentuh hati. Ia tidak saja sebagai penyejuk atau siraman air untuk otak manusia, tatapi telah memberikan wacana mendasar bahwa penyair Indonesia telah berbuat untuk negerinya , sebagai sumbangsih karya untuk Tanah Air tercinta.

Jangan Sampai Korupsi Menjadi Budaya
Masalah korupsi bukankah sudah ada sejak negara ini berdiri? Namun sebelumnya hal korupsi belum marak  seperti sekarang ini. Masalah korupsi hampir terjadi di setiap pelosok negeri. Pelakunya dari pangkat terendah sampai pucuk pimpinan, dari pegawai rendahan sampai mentri, dari pejabat tingkat RT sampai Presiden dan beraneka profesi yang melakukannya. Wabahnya bak penyakit menular yang juga menyerang mantri pembasmi penyakit itu. Berangkat dari merajalelanya masalah korupsi yang sudah menasional ini bagaikan sebuah budaya baru yang dilakukan masyarakat, para penyair merasa prihatin melihat kejadian wabah korupsi yang terjadi di mana-mana ini.

Mengapa gunakan puisi
Sebuah pertanyaan kenapa puisinya yang menolak korupsi tidak penyairnya? Jika ini sebuah gerakan para penyair kenapa bukan penyair yang harus di depan? Pertanyaan di atas tidaklah harus disamakan dengan profesi lain. Sebab menurut sejarah, lebih berani tulisannya ketimbang orangnya. Lebih tajam pena-nya ketimbang lidahnya, lebik kritis kalimatnya ketimbang pendapatnya. Oleh karena itu para penyair gunakan produknya sebagai senjata untuk melawan korupsi.
Lebih dari itu sebetulnya produk sastra sangat erat dengan penulisnya. Undang-undang hak cipta begitu memberi kekuatan yang tak terpisahkan antara penulis dan karyanya. Jadi sebetulnya produk sastra tersirat dibelakangnya sosok penulisnya. Jika demikian jelas pesan yang dituangkan dalam karya sastra sebetulnya adalah hasil pemikiran penulisnya.Puisi menolak korupsi ini otomatis penyair yang mencipta puisi itu juga menolak korupsi.
Dalam diri hati manusia ada sisi baik dan sisi buruk. Siap orang yang waras menginginkan kehidupan yang baik. Sisi buruk yang ada hanyalah pembatas utuk tidak melakukannya. Sisi baik dan buruk slalu seiring pada diri manusia yang memiliki nafsu. Ini tergantung neracanya. Karena itu sisi buruk manusia perlu diisi dengan agama, aturan, pendidikan dan norma hidup. Sehingga sisi buruk itu terbelenggu dan tidak akan keluar dari nafsu manusia. Puisi sebagai karya sastra memiliki nilai berbagai macam sentuhan hati. sebab puisi yang diciptakan oleh para penyair terkandung menitipkan pesan-pesan kebaikan yang beraneka. Ahlak, budi pekerti, budaya luhur, norma adat, peraturan, pantangan dan sebagainya terdapat dalam puisi. Hampir tiap puisi yang dibuat terkandung unsur intrinsik pesan-pesan tersebut dan intrinsik inklusif dalam Puisi Menolak Korupsi adalah masalah korupsi.

Antologi Puisi Terbesar
Penerbitan antologi bersama (PMK) merupakan sebuah karya buku bersama. Sejak Angkatan Pujangga Baru telah ada penyai-penyair yang menerbitakan antologi bersama. Isi bisa satu tema, namun juga bisa berbeda tema atau beraneka tema puisi. Ada berbagai tujuan untuk menbuat antologi bersama: 1. Memenuhi standar ketebalan buku, 2. mengetengahkan bahwa pemilik gagasan (tema) bukan oleh seorang penyair tetapi lebih dari seorang penyair dengan maksud pembaca untuk mengapresiasi lebih terhadap isi yang melekat dengan sosok penyairnya, 3. Memenuhi angkatan pujangga pada saat itu.4. Memberikan kekuatan pada buku bahwa buku itu kelak dapat dibaca oleh publik tidak saja fans seorang sastrawan tertentu, tetapi lebih dari satu sastrawan yang juga memiliki fans-nya.5. Semangat untuk sebuah gagasan dari isi sebuah pesan. Dan yang terakhir ini, pada buku PMK ini, saya melihat semangat para penyair untuk sebuah gagasan (menolak korupsi di Tanah Air) lewat sebuah pesan (isi puisi) lebih kuat tampaknya. Agaknya Leak Sosiawan tidak memandang siapa penyairnya, dari golongan apa penyairnya, atau dari mana asal penyairnya yang penting adalah sumbangsih karya puisi itu. Lebih dari itu Leak Sosiawan telah diterima oleh setiap pengirim puisi untuk memilah dan menentukan kelayakan sebuah puisi laik terbit. Namun ia senantiasa menghargai bobot karya dari siapa pun karena memang pertimbangan no. 2 dan 4 di atas dari tujuan membuat puisi bersama. Yang terakhir adalah, bahwa semua orang bisa melakukan seperti meniru, tetapi orang pertama yang mencetuskan/menciptakan/menggagas/menelorkan ide itu harus dihargai.

Multi Angkatan
Dalam kurun hapir setengah abad perjalanan negeri ini (sejak 1966) perjalanan sastrawan kita hanya membuat karya yang bagus serta kreatifitas karya kekinian (modern) namun  sulit dibuat angkatan. Bolehlah pada kritikus sastra atau sastrawan membuat angkatan kesusastraan, dengan alasan yang berbeda-beda, Itu sah-sah saja. Angkatan Reformasi, Angkatan 2000 tak menjadi maslah sejauh referensinya dapat diterima. Di Antologi PMK terdapat beberapa nama penyair yang terkenal dan termasuk dalam angkatan-angkatan sastrawan sebelumnya. Seperti Ahmadun Yosi Herfanda, Tajuddin Noor Ganie , Isbedy Stiawan ZS, Gol A Gong, Acep Zamzam Noor, Jamal D Rahman dan lain lain yang  termasuk dalam angkatan 80-an , angkatan 90-an, atau angkatan  2000 . Bahkan jika dilihat dari usia ada penyair PMK yang berusia 60 tahun dan juga yng masih dibawah usia 30. Meskipun gelombang reformasi mengganti orde baru, karya satra berikut sastrawannya tidak mengiringi perubahan bangsa ini. Hal demikian dikarenakan reformasi yang sampai sekarang masih berjalan tersendat-sendat.

Menembus  2,5 Juta Pembaca
Antologi Bersama dapat menjadi sebuah dokumen sastra yang bersifat nasional dan memenuhi banyak pembaca serta menjadi bahan rujukan. Sebagai contoh Antologi puisi yang ditulis oleh banyak penyair dari berbagai penjuru Tanah Air akan mampu menembus pembaca hingga jutaan manusia. Buku Antologi puisi Menolak Korupsi kurang lebih ditulis oleh 284 penyair Indonesia dan 291 karya peljar atu berjumlah 575 peserta pengisi antologi. Jika setiap penyair memiliki keluarga, teman, fans, dan anak asuh sastra di sanggar saja maka setiap penyair mambawa 200 pembaca buku tersebut. Maka buku antologi-bersama akan menembus ratusan ribu pembaca.
Sengaja penulis tidak menghitung buku yang dicetak. Menghitung pembaca dari buku yang dicetak akan sulit ditaksir. Kecuali buku tersebut telah terjual dan menjadi best seller. Ini juga dengan menggunakan prinsip buku yang terjual pasti dibaca pembelinya meskipun tidak semua pembeli buku membaca buku yang dibelinya sampai tamat.
Keunggulan buku antologi-bersama secara geografis terkadang memenuhi keterwakilan publik di suatu daerah. Hal demikian dikarenakan sastrawan biasanya merupakan tokoh masyarakat di daerahnya. Semakin banyak keterwakilan sastrawan dari berbagai daerah , bahkan daerah terpencil maka semakin banyak jumlah pembacanya.
Antologi bersama sangat menguntungkan nama penyairnya dikarenakan melalui buku itu masing-masing dikenalkan kepada penyair lainnya dalam buku itu. Yang sudah populair akan semakin dikenal masyarakat dan yang baru meniti tangga mulai dikenalkan lewat karya dalam buku itu.
Antologi yang demikian menjadi Antologi puisi yang berstandar nasional pada ukuran pembaca. Demikian karena ukuran kelayakan sebuah buku adalah layak dibaca dan pernah dibaca. Contoh saja misalnya dalam lomba perpustakaan, ukuran keberhasilan adalah pembaca. Terbiasa sekali juri lomba perpustakaan mengukur jumlah pengunjung sebagai faktor utama, bukan gedung dan bukan bukunya yang tebal-tebal dan mahal.
Antologi bersama memerlukan standar isi agar bermutu. Karenanya perlu menampilkan team penyeleksi puisi peserta antologi. Bukan penyair peserta pengisi antologi tetapi karya peserta itu yang diseleksi. Jadi dua hal penting antologi bersama yakni pembaca dan puisi peserta antologi.
Hal pembaca sastra Indonesia kebanyakan didominasi pelajar dan mahasiswa pada status sosial lain masih demikain rendah. Menempati uriutan kedua adalah pendidik. Pembaca sastra Indonesia banyak dimotori/digelorakan oleh para pendidik itu kepada siswa dan mahasiswanya. Andai saja mereka turut membatu karya sastrawan, maka pembaca sastra Indonesia akan meningkat, sebab sepertiga jumlah penduduk Indonesia adalah anak-anak dan remaja! Diantara para pengisi antologi ini terdapat banyak penyair yang juga berprofesi sebagai pendidik. Seringkali  buku PMK dijadikan bahan ajar pelajaran sastra di sekolah-sekolah maka bukan mustahil buku yang dicetak terbatas diperuntukan untuk penulisnya ini banya dibaca siswa. Kemudian kegiatan-kegiatan peluncuran antologi PMK,  bedah buku PMK, Lomb abaca PMK, serta road Show PMK menambah jumlah pembaca. Kini kegiatan road Show PMK telah lebih dari 20 tempat dilaksanakan di Tanah Air.

‘Road Show’ puisi denyut nadi PMK sepanjang tahun
Belum pernah sebelumnya ada buku antologi puisi di-‘roadswhow’-kan ke sejumlah kota untuk apa? Apakah belum cukup populair dengan sekali peluncuran? Apakah belum menyentuh sasaran?  Atau ini merupakan roadshow-nya penyair PMK? Jawabnya adalah seperti dikatakan Sosiawan Leak  yakni kemandirian yang  menjadi dasar digulirkannya program Road Show Puisi Menolak Korupsi isi road show bisa dalam  wujud pembacaan puisi, pentas seni, seminar, diskusi, orasi, lomba baca puisi, lomba cipta puisi dan lain-lain yang dilakukan secara otonom di berbagai kota, dikoordinir oleh penyair PMK yang mukim di kota tersebut. Ini artinya bahwa untuk melaksanakan gerakan PMK itu dilaksanakan tanpa paksaan dari siapa pun yang turut tergerak  hatinya untuk berpartisipasi melawan korpsi dengan cara kegiatan sastra seperti disebutkan Sosiawan Leak sebagai gerakan sikap para penyair untuk melwan korupsi dengan caranya.
Bermula di wujudkan dengan road shownya di Makam Proklamator terus merambah ke kota-kota di seluruh Tanah Air dan pada 27 September 2013 road shownya VI di gedung Komisi Pemberantasan Korupsi di Jakarta.

Peserta Pengisi Antologi Terbanyak dalam sejarah
Siapa-siapa saja mereka (penyair itu yang terlibat) adalah para penulis puisi dalam antologi Puisi Menolak Korupsi, mereka adalah :Penyair Indonesia yang ikut menulis di buku Antologi Puisi Menolak Korupsi (PMK) Jilid I
:1. Abdurrahman El Husaini (Martapura)2. Acep Syahril (Indramayu)3. Agus R Sardjono (Jakarta)4. Agus Sri Danardana (Pekanbaru)5. Ahmad Daladi (Magelang)6. Ahmadun Y Herfanda (Jakarta)7. Akaha Taufan Aminudin (Batu, Malang)8. Ali Syamsudin Arsi (Banjarbaru)9. Aloysius Slamet Widodo (Jakarta)10. Aming Aminudin (Surabaya)11. Andreas Kristoko (Yogja)12. Andrias Edison (Blitar)13. Andrik Purwasito (Solo)14. Anggoro Suprapto (Semarang)15. Ardi Susanti (Tulungagung)16. Arsyad Indradi (Banjarbaru)17. Asyari Muhammad (Jepara)18. Ayu Cipta (Tangerang)19. Bagus Putu Parto (Blitar)20. Bambang Eka Prasetya (Magelang)21. Bambang Supranoto (Cepu)22. Bambang Widiatmoko (Bekasi)23. Beni Setia (Caruban)24. Bontot Sukandar (Tegal)25. Brigita Neny Anggraeni (Semarang)26. Budhi Setyawan (Bekasi)27. Dedet Setiadi (Magelang)28. Denni Meilizon (Padang)29. Dharmadi (Purwokerto)30. Didid Endro S (Jepara)31. Dimas Arika Mihardja (Jambi)32. Dona Anovita (Surabaya)33. Dwi Ery Santosa (Tegal)34. Dyah Setyawati (Tegal)35. Eka Pradhaning (Magelang)36. Eko Widianto (Jepara)37. Ekohm Abiyasa (Solo)38. Endang Setiyaningsih (Bogor)39. Endang Supriyadi (Depok)40. Gunawan Tri Admojo (Solo)41. Handry Tm (Semarang)42. Hardho Sayoko Spb (Ngawi)43. Heru Mugiarso (Semarang)44. Hilda Rumambi (Palu)45. Irma Yuliana (Kudusan, Jawa Tengah)46. Isbedy Stiawan ZS (Lampung)47. Jamal D Rahman (Jakarta)48. Jhon F.S. Pane (Kotabaru)49. Jumari HS (Kudus)50. Kidung Purnama (Ciamis, Jawa Barat)51. Kun Cahyono Ps (Wonosobo)52. Kuspriyanto Namma (Ngawi)53. Lailatul Kiptiyah (Blitar)54. Lennon Machali (Gresik)55. Lukni Maulana (Semarang)56. M. Enthieh Mudakir (Tegal)57. Mubaqi Abdullah (Semarang)58. Najibul Mahbub (Pekalongan)59. Nurngudiono (Tegal)60. Oscar Amran (Bogor)61. Puji Pistols (Pati)62. Puput Amiranti (Blitar)63. Puspita Ann (Solo)64. Radar Panca Dahana (Jakarta)65. Ribut Achwandi (Pekalongan)66. Ribut Basuki (Surabaya)67. Rohmat Djoko Prakosa (Surabaya)68. Saiful Bahri (Aceh)69. Sosiawan Leak (Solo)70. Sudarmono (Bekasi)71. Sulis Bambang (Semarang)72. Sumasno Hadi (Banjarmasin)73. Surya Hardi (Pekanbaru)74. Sus S Hardjono (Sragen)75. Suyitna Ethex (Mojokerto)76. Syam Chandra (Yogyakarta)77. Syarifuddin Arifin (Padang)78. Thomas Budi Santoso (Kudus)79. Thomas Haryanto Soekiran (Purworejo)80. Tri Lara Prasetya Rina (Bali)81. Udik Agus Dw (Jepara)82. W. Haryanto (Blitar)83. Wardjito Soeharso (Semarang)84. Yudhie Yarco (Jepara)85. Zainul Walid (Situbondo)
Penyair Indonesia yang ikut menulis di buku antologi Puisi Menolak Korupsi (PMK) Jilid II (IIa dan IIb)
Antologi PMK Jilid 2: 1. A. Ganjar Sudibyo (Semarang)2. A’yat Khalili (Sumenep)3. Aan Setiawan (Banjarbaru)4. Abah Yoyok (Tangerang)5. Abdul Aziz H. M. El Basyroh (Indramayu)6. Abdurrahman El Husaini (Martapura)7. Acep Zamzam Noor (Tasikmalaya)8. Ade Ubaidil (Cilegon)9. Adi Rosadi (Cianjur)10. Agus R. Subagyo (Nganjuk)11. Agus Sighro Budiono (Bojonegoro)12. Agus Sri Danardana (Pekanbaru)13. Agus Warsono (Indramayu)14. Agustav Triono (Purwokerto)15. Agustinus (Purbalingga)16. Ahlul Hukmi (Dumai)17. Ahmad Ardian (Pangkep)18. Ahmad Daladi (Magelang)19. Ahmad Samuel Jogawi (Pekalongan)20. Ahmadun Yosi Herfanda (Jakarta)21. Akaha Taufan Aminudin (Batu)22. Akhmad Nurhadi Moekri (Sumenep)23. Alex R. Nainggolan (Tangerang)24. Ali Syamsudin Arsi (Banjarbaru)25. Allief Zam Billah (Rembang)26. Aloeth Pathi (Pati)27. Alya Salaisha-Sinta (Cikarang)28. Aming Aminudin (Mojokerto)29. Andreas Kristoko (Yogjakarta)30. Andrias Edison (Blitar)31. Anggoro Suprapto (Semarang)32. Anna Mariyana (Banjarmasin)33. Ansar Basuki Balasikh (Cilacap)34. Arba’ Karomaini (Pati)35. Ardi Susanti (Tulungagung)36. Ardian Je (Serang)37. Arsyad Indradi (Banjarbaru)38. Asdar Muis R. M. S.(Makassar)39. Asmoro Al Fahrabi (Pasuruan)40. Asril Koto (Padang)41. Asyari Muhammad (Jepara)42. Autar Abdillah (Sidoarjo)43. Ayu Cipta (Tangerang)44. Badaruddin Amir (Barru)45. Bambang Eka Prasetya (Magelang)46. Bambang Karno (Wonogiri)47. Barlean Bagus S. A. (Jember)48. Bontot Sukandar (Tegal)49. Budhi Setyawan (Bekasi)50. Chafidh Nugroho (Kudus)51. D. G. Kumarsana (Lombok Barat)52. Darman D. Hoeri (Malang)53. Daryat Arya (Cilacap)54. Denni Melizon (Padang)55. Denny Mizhar (Malang)56. Diah Rofika (Berlin)57. Diah Setyawati (Tegal)58. Diana Roosetindaro (Solo)59. Didid Endro S. (Jepara)60. Dimas Arika Mihardja (Jambi)61. Dimas Indiana Senja (Brebes)62. Dini S. Setyowati (Amsterdam)63. Dinullah Rayes (Sumbawa Besar)64. Dulrohim (Purworejo)65. Dwi Ery Santoso (Tegal)66. Dwi Haryanta (Jakarta)67. Dyah Kencono Puspito Dewi (Bekasi)68. Dyah Narang Huth (Hamburg)69. Eddie MNS-Soemanto (Padang)70. Edy Saputra (Blitar)71. Efendi Saleh (Blitar)72. Eka Pradhaning (Magelang)73. Emha Jayabrata (Pekalongan)74. Endang Setiyaningsih (Bogor)75. Endang Supriyadi (Depok)76. Euis Herni Ismail (Subang)77. Fahrurraji Asmuni (Amuntai)78. Faizy Mahmoed Haly (Semarang)79. Fakrunnas M. A. Jabbar (Pekanbaru)80. Fatah Rastafara (Pekalongan)81. Felix Nesi (Nusa Tenggara Timur)82. Fendy A. Bura Raja (Sumenep)83. Ferdi Afrar (Sidoarjo)84. Fikar W. Eda (Aceh)85. Fransiska Ambar Kristyani (Semarang)86. Gia Setiawati Mokobela (Kotamobagu)87. Gol A Gong (Serang)88. Habibullah Hamim (Pasuruan)89. Hadikawa (Banjarbaru)90. Haidar Hafeez (Pasuruan)91. Hardho Sayoko Spb. (Ngawi)92. Haryono Soekiran (Purbalingga)93. Hasan B. Saidi (Batam)94. Hasan Bisri B. F. C. (Jakarta)95. Hasta Indriyana (Bandung)96. Heny Gunanto (Pemalang)97. Herman Syahara (Jakarta)98. Heru Mugiarso (Semarang)99. Hidayat Raharja (Sumenep)100. Husnu Abadi (Pekanbaru)101. Iberamsayah Barbary (Banjarbaru)102. Ibramsyah Amandit (Barito Kuala)103. Isbedy Stiawan Z.S. (Lampung)104. Jefri Widodo (Ngawi)105. Jhon F. Pane (Kotabaru)106. Johan Bhimo (Sragen)107. Joko Wahono (Sragen)108. Jose Rizal Manua (Jakarta)109. Joshua Igho (Tegal)110. Jumari H. S. (Kudus)111. Juperta Panji Utama (Lampung)112. Kalsum Belgis (Martapura)113. Ken Hanggara (Pasuruan)114. Kidung Purnama (Ciamis)115. Kusdaryoko (Banjarnegara)116. Lara Prasetya Rina (Denpasar)117. Linda Ramsita Nasir (Bekasi)118. Lukman Mahbubi (Sumenep)119. M. Amin Mustika Muda (Barito Kuala)120. M. Andi Virman (Purwokerto)121. M. Enthieh Mudakir (Tegal)122. M. Faizi (Sumenep, Madura)123. M. Syarifuddin (Jember)124. M. L. Budi Agung (Temanggung)125. Maria Roeslie (Samarinda)126. Marlin Dinamikanto (Jakarta)127. Melur Seruni (Singapura)128. Memed Gunawan (Jakarta)129. Micha Adiatma (Solo)130. Mubaqi Abdullah (Semarang)131. Muhammad Rain (Langsa)132. Muhammad Rois Rinaldi (Cilegon)133. Muhammad Zaini Ratuloli (Bekasi)134. Muhary Wahyu Nurba (Makassar)135. Muhtar S. Hidayat (Blora)136. Mustofa W. Hasyim (Yogjakarta)137. Nabilla Nailur Rohmah (Malang)138. Najibul Mahbub (Pekalongan)139. Nike Aditya Putri (Cilacap)140. Novy Noorhayati Syahfida (Tangerang)141. Nurochman Sudibyo Y. S. (Indramayu)142. Pekik Sat Siswonirmolo (Kebumen)143. Priyo Pambudi Utomo (Trenggalek)144. R. B. Edi Pramono (Yogyakarta)145. R. Giryadi (Sidoarjo)146. R. Valentina Sagala (Bandung)147. Rezqie Muhammad Al Fajar (Banjarmasin)148. Ribut Achwandi (Pekalongan)149. Ribut Basuki (Surabaya)150. Rini Ganefa (Semarang)151. Rivai Adi (Jakarta)152. Riyanto (Purwokerto)153. Rohseno Aji Affandi (Solo)154. Rosiana Putri (Banjarbaru)155. Rudi Yesus (Yogjakarta)156. S. A. Susilowati (Semarang)157. Sabahuddin Senin (Kinabalu)158. Saiful Bahri (Aceh)159. Saiful Hadjar (Surabaya)160. Samsuni Sarman (Banjarmasin)161. Sayyid Fahmi Alathas (Lampung)162. Serunie (Solo)163. Soekoso D. M. (Purworejo)164. Soetan Radjo Pamoentjak (Batusangkar)165. Sri Wahyuni (Gresik)166. Sulis Bambang (Semarang)167. Sumanang Tirtasujana (Purworejo)168. Sumasno Hadi (Banjarbaru)169. Sunaryo Broto (Kaltim)170. Suroto S. Toto (Purworejo)171. Surya Hardi (Riau)172. Sus S. Hardjono (Sragen)173. Sutardji Calzoum Bahcri (Jakarta)174. Suyitno Ethexs (Mojokerto)175. Syafrizal Sahrun (Medan)176. Tajuddin Noor Ganie (Banjarmasin)177. Tan Tjin Siong (Surabaya)178. Tarmizi Rumahitam (Batam)179. Tarni Kasanpawiro (Bekasi)180. Tengsoe Tjahjono (Surabaya)181. Thomas Haryanto Soekiran (Purworejo)182. Titik Kartitiani (Tangerang)183. Toto St. Radik (Serang)184. Turiyo Ragilputra (Kebumen)185. Udik Agus Dhewe (Jepara)186. Udo Z. Karzi (Lampung)187. Wahyu Prihantoro (Ngawi)188. Wahyu Subakdiono (Bojonegoro)189. Wanto Tirta (Ajibarang)190. Wardjito Soeharso (Semarang)191. Wawan Hamzah Arfan (Cirebon)192. Wawan Kurn (Makassar)193. Wijaya Heru Santosa (Kutoarjo)194. Wyaz Ibn Sinentang (Ketapang)195. Yanusa Nugroho (Tangerang)196. Yatim Ahmad (Kinabalu)197. Yogira Yogaswara (Bandung)198. Yudhie Yarcho (Jepara)199. Zubaidah Djohar (Aceh). Disamping para penyair tersebut diatas  juga memunculkan  Penerbitan Buku Puisi Menolak Korupsi Jilid 3 karya pelajar Indonesia , mereka adalah :1. A. Habiburrahman (Sumenep)2. A. Kafi Febrian (Sumenep)3. Abdul Azis Pane (Deli Serdang)4. Abi Ortega (Pangkalan Kerinci, Riau)5. Aeni Krismonika (Purbalingga)6. Afifatus Sa’diah (Jember)7. Agil Vina Febriana (Salatiga)8. Agri Satrio Adi Nugroho (Sukoharjo)9. Ahmad Alfi (Surakarta)10. Ahmad Khoirur Roziq (Kediri)11. Ahmad Latief Ansory (Palembang)12. Ahmad Saugi Andrian P. (Tangerang)13. Ahnafudin Toha (Semarang)14. Ahshalia Ayu Aghnia (Pekalongan)15. Aida Kurniasih (Banyumas)16. Aisyah Rachma (Surabaya)17. Aji Rahmat Imanudin (Bojonegoro)18. Aji Tanda19. Alanwari (Bogor)20. Alfianingsih (Purbalingga)21. Alimatus Saadiyah (Ngawi)22. Amalia Nurus Syifa (Banyumas)23. Amazona Mega Ramadhanty (Cilacap)24. Amir F. A. (Sumenep)25. Anastasia Sita Wulandari (Gunung Kidul)26. Andi Wijaksono (Purbalingga)27. Andika (Banyumas)28. Andrian Eka Saputra (Boyolali)29. Andy Putra Ramadhan (Semarang)30. Angga Anggriawan (Ciamis)31. Angga Tri Andriyono (Banyumas)32. Anis Ilahy Nafsi (Ngawi)33. Anisa Wulansari (Balikpapan)34. Annas Tunggal (Ngawi)35. Anurul Islami (Banyumas)36. Ardiyah (Banjarnegara)37. Arif Budiman (Lamongan)38. Arifah Hasin Haluqi (Banyumas)39. Arina Sabila Najah (Pasuruan)40. Asmoro Al-fahrabi (Pasuruan)41. Assa Levina (Banyumas)42. Astiwi Safitri (Pinrang, Sulsel)43. Audi Ariaji Harahap (Medan)44. Aulia Nur Fadilah (Banyumas)45. Aulia Qurrotu Aini (Karanganyar)46. Aulia Widyanagara (Bojonegoro)47. Avivatus Sa'diyah (Jember)48. Ayu Ana Widiastutik (Sumenep)49. Ayunda Bilqish Alfiatussyifa (Bojonegoro)50. Badruz Zaman (Sumenep). Bella Fitriana Handayani (Bekasi)52. Bima Sarutobi53. Catur Hari Mukti (Sragen)54. Chaoril Imam (Surakarta)55. Chandra Adhi Susanto (Ngawi)56. Charis (Banyumas)57. Chatarina Dewi Anggraeni (Purworejo)58. Daniswari Anggadewi (Surakarta). Daviatul Umam el-S (Sumenep)60. David Rizaldi (Sragen)61. Dedy Yusuf Evendi (Pasuruan). Della Oktaviani Sorongan (Bekasi)63. Desiya Nailil Muna (Kudus)64. Deva Lili Fiana (Banyumas)65. Devi Anggereni (Purbalingga)66. Dewi Lestari (Kudus)67. Dewi Munfachiroh (Pasuruan)68. Dewi Nafiah (Banyumas)69. Dewi R. (Banyumas)70. Dewi Retno Putri Pradana (Jember)71. Dewi Sulistyowati (Salatiga)72. Dewinta  P. (Banyumas)73. Dhia Asa Imtinan (Pekalongan)74. Diah Pratiwi (Banyumas)75. Dian Ilmi (Pekalongan)76. Dian Novita Arum Sari (Nganjuk)77. Diana Khasna Nisrina (Batang)78. Diantini79. Dika Bhakti (Bojonegoro)80. Dina (Banyumas)81. Dwi Ari Sulistiyani (Banyumas)82. Dwi Ayu Wandirah (Purbalingga)83. Dwi Roro Asih (Banyumas)84. Dwiana Nur Rizki Hanifah (Banyumas)85. Eka Ervina Ari Ardana (Nganjuk)86. Ela Fuji Lestari (Semarang)87. Elis Alvirawati (Sragen)88. Elisabeth Sabrina P.S. (Banyumas)89. Ervina Ruth Priya Sambada (Boyolali)90. Estri Tirta Titis Pinasthi (Ngawi)91. Evadatul Khusnah92. Evi Oktaviani (Banyumas)93. Fahri (Banyumas)94. Faiqotul Himmah (Pasuruan)95. Faiza Ainia (Banyumas)96. Fajar Aji Pamungkas (Banyumas)97. Fathan Dikha Muttaqin (Tulungagung)98. Fatimatul Chabibah (Pasuruan)99. Febri Yani Rustanti100. Filujeng Nur Rochma (Ngawi)101. Firdha Avivia P. K. (Sragen)102. Fitri Kurniawati (Ngawi)103. Fitri Riyanti (Banyumas)104. Fridolfna Nahong (Manggarai, NTT)105. Galuh Prima Sabarina (Banyumas)106. Galuh Rahma (Ngawi)107. Garita Esa M. (Banyumas)108. Gilbertus Luki Targau (Manggarai, NTT)109. Hafid Rois Al Ahsan (Sragen)
110. Hanida Salsabila (Banyumas)111. Hanifah Annuru Masruroh (Nganjuk)112. Hansen Sunaryangga (Brebes)113. Hanu Neda Septian (Banyumas)114. Harrits Rizqi Budiman (Malang)115. Hasna Rosikhatun Nasika (Kediri)116. Helda Kristi Seimahuira (Ambon)117. Hendi Aryo Bastian (Banyumas)118. Heni Puspitasari (Gunung Kidul)119. Hestina PH (Banyumas)120. Hidayah Sumiyani (Tuban)121. Hilmun Al Ghumaydha (Ngawi)122. Husein (Banyumas)123. Ibnu Akthailan (Banyumas)124. Ifa Nur Cahyani (Banyumas)125. Iffah Mahiratun Nisa (Sragen)126. Iin Yulita Sari (Ngawi)127. Ike Silviaranchi (Banyumas)128. Irma Oktiyar Diani (Banyumas)129. Irma Yusianti (Banyumas)130. Ismailia (Pasuruan)131. Ismiyatul Faizah (Ngawi)132. Istiqlal Fauzan Hidayat (Tegal)133. Itsna Agustin Nur R. (Banyumas)134. Izra (Banyumas)135. Jauharie Maulidie (Sumenep)136. Kartika Rahmarani (Banjarnegara). Kartika Rochmawati (Ngawi)138. Khansa Salsabilla A. (Banyuwangi)139. Khollatul Jalilah (Sumenep)
140. Khusnul Ihda Muslikah (Trenggalek)141. Kiki Novitasari (Pasuruan)142. Kuni Zakiyah Rahmadhani (Banyuwangi) 143. Laila Nailu Rahmatika (Ngawi)144. Laila Nur Ainiyah (Nganjuk)145. Laila Nur Azizah (Banyumas)
146. Legita (Banyumas)147. Lina Alfiani (Ciamis)148. Linda Purwanti (Purbalingga)149. Linda Puspita Dewi (Sragen)
150. Lisa Aryati (Banjarnegara)151. Livia Arizka (Banjarnegara)152. Lucky Windya Mawarni (Ngawi)153. Lukiyati Ningsih (Mojokerto)154. Lum'atun Nikmah (Pati)155. Lusi Sukmawati (Pekalongan)156. Luthfiyah Amani (Banyumas)157. M. Ridho Ilahi (Palembang)158. M. Rofil Zainuri (Sumenep)159. M. Sirojuddin (Pasuruan)160. Ma’ruf  Wahyudin (Blora)161. Malik Susanto (Pekalongan)162. Marisa Nurhayati (Magelang)163. Martinus Tundu (Manggarai, NTT)164. Matahari Adi. S. B. (Jombang)165. Maulida Solekhah (Nganjuk)166. Maulina Fikriyah (Pasuruan)167. Mega Fitria Trisnasari (Ngawi)168. Mentari Cesari Pangestika (Purbalingga)169. Mey Nur Hikmah (Banyumas)170. Miftahul Khoiriyah (Nganjuk)171. Minati Dwi Vinasih (Sragen)172. Mirna Nuraisyah (Ciamis)173. Mirnawati (Banyumas)174. Moh. Syarif Muzammil (Sumenep)175. Moh. Yasid (Sumenep)176. Mohammad Ahlisil Haq (Gresik)177. Mohammad Kholili (Sumenep)178. Mufti Aji Panuntun (Banyumas)179. Muhamad Fathan Mubin (Serang)180. Muhammad As’ad (Pasuruan)181. Muhammad Baghiz Arom-rom (Banyumas). Muhammad Habibullah (Pasuruan). Muhammad Hafeedz Amar Rishka (Indramayu)184. Muhammad Irfan Aziz (Pasuruan)
185. Muhammad Juroimi (Pasuruan)186. Muhammad Rifqi Saifudin (Barito Kuala, Kalsel)187. Muhammad Zha’farudin Pudya Wardana (Malang)188. Muliyana Nurjanah (Purbalingga)189. Nabila (Martapura)190. Nabila Bunga Ratu Piara Dicinta (Banyumas)191. Nabila Ramadhani Zain (Banyumas)192. Nahdliyah Furri Utami (Tegal)193. Naila Salsabila (Sragen)194. Nailil (Banyumas)195. Nara Latif (Banjarnegara)196. Nely Rosyalina Agustin (Banyumas)197. Nida Nurunnisa (Ciamis)198. Nisrina Yusha S. (Banyumas)199. Niswatul Badiah (Pasuruan)200. Nita Kamila (Jepara)201. Nofika Rahmayani (Nganjuk)202. Novalia Meta F (Purbalingga)203. Novi Justika Harini (Ngawi)204. Novi Setyowati (Wonosobo)205. Nur Lailatul Rahni (Deli Serdang)206. Nur Laili Indah Sari (Banyumas)207. Nur Silvi Nafsila (Banyumas)208. Nur Widowati (Cirebon)209. Nurfita Dwi Lestari (Jepara)210. Nursandrawali Gosul (Bantaeng, Sulsel)211. Nurul Fajariyana (Banyumas)212. Nurul Fajri Khoirunnisa (Magelang)213. Nurul Hayati (Banyumas)214. Nurul Hidayah (Sragen)215. Nurul Miftah Awaliyah (Banyumas)216. Nurul Rahmawati (Ngawi)217. Pandi Zakaria (Brebes)218. Penti Aprianti (Ciamis)219. Pradiana Setianingrum (Semarang)220. Puri  Elviana (Bandung)221. Putri Ageng Pinareng222. Putri Agus Yuli Yanti (Nganjuk)223. Putri Dikha Syahirah (Tulungagung)224. Putri Handika (Banyumas)225. Putri Kartika Sari (Kediri)226. Qistia Ummah Khasanah (Tuban)227. Rahma Mamlu’atul Maula (Kediri)228. Rahmawatun S. (Sukoharjo)229. Ratna Ulfa Artati (Pekalongan)230. Recha Melia (Purworejo)231. Restu Ade Kurniawan (Pati)232. Reza Siskana Lia (Jepara)233. Reza Sulkhaerah A. Semmagga (Barru)234. Ririn D. U.235. Rischa Setyaningrum (Ngawi)236. Riski Mei Yana Suci (Purbalingga)237. Risqiana Imarotul Ainiyah (Nganjuk)238. Rizka Melyana (Purbalingga)239. Rizka Novita Wardani (Ngawi)240. Rizki Dwi Utami (Bogor)241. Robi Husnimubaroq (Sumedang)242. Robiyatun (Sragen)243. Roro Ajeng Olga Dewi Wulan (Ngawi)244. Rosyidatul Auliya (Pasuruan)245. Sari Nurfatwa Hakim (Ciamis)246. Satrio Dwi Sanjaya (Malang)247. Sausan Syah Muz’shofiyya (Nganjuk)248. Septi Tri R. (Banyumas)249. Shella (Jepara)250. Shielvia (Banyumas)251. Sigit Nur Pratama (Banyumas)252. Silvy Damayanti (Ciamis)253. Sindi Violinda (Medan). Siti Mazroatul H. (Rembang)255. Siti Nailah (Sumenep)256. Siti Nur Afifah (Ngawi)257. Sonya Novisca Wijaya (Palembang)258. Sri Bulan Cahya Hartati Ningsih (Kediri)259. Suci Triana Putri (Bantaeng, Sulsel). Sucirahmawati (Banyumas)261. Sufyan Tsauri (Sumenep)262. Sugiati Surya Dewi (Pasuruan)263. Sukma Ningrum Dian Anggraeni (Purworejo)264. Sulaiman Alfian (Pasuruan)265. Syaiful Azhar (Sragen)266. Syaiful Bachri (Sumenep)267. Syifa Mutiara Salsabila (Banyumas)268. Tarisa Fika Rahayu (Banyumas)269. Taufik Ardiansyah (Ciamis)270. Thania (Salatiga)271. Titin Trianti (Bojonegoro)272. Tri Widya Putri Lestari (Purbalingga)273. Ulfah Nurul Hidayah (Banyumas)274. Umi Nafisah (Banjarnegara)275. Ummamul Fatina (Ngawi). Uuli Kufita Imtikhana (Kudus)277. Vivi Yantri Halimatus Sa'diyah (Banyumas)278. Wahyu Tri S (Ngawi)279. Wida Marliana (Banjarnegara)280. Widad T. A. (Banyumas)281. Winda Nursita (Banyumas)282. Windani Afni Nurlaeli (Banyumas)283. Wisma Nantha (Purworejo)284. Wiwit Prihatini (Banyumas)285. Yuli Setiawati (Jakarta Timur)286. Yunisma Sulala (Banyuwangi)287. YunitaLuthfiani (Kudus)288. Yusrina Nur (Pekalongan)289. Yutik Ayatun Khasanah (Sragen)290. Yutri Linoku Liyu (Bandung)291. Zain Rochmatiningsih (Tulungagung)
Rujukan :1. "Sastrawan Angkatan 2000". Korrie Layun Rampan Gramedia Jakarta2000;2. Antologi PMK jilis 1, 2a, 2b , Karya Pelajar Forum Sastra Surakarta. 2013/2014.
               

Minggu, 20 April 2014

Kekecewaan , Penyesalan dan Keyakinan Penyair Jiwa Kebhinnekaan

Pengantar Antologi Lumbung Puisi sastrawan Indonesia
Oleg : Rg Bagus warsono

Kekecewaan , Penyesalan dan Keyakinan Penyair Jiwa Kebhinnekaan

Ali Syamsudin Arsi seorang penyair asal Barabai, Kab. Hulu Sungai Tengah, Prov. Kalimantan Selatan seakan mebuka antologi ini dengan kekhawatiran terhadap negeri dengan terlulis lewat  “Daun-daun di jendela Perpustakaan geriis”  //… -ada libasan bayang-bayang ketika orang-orang berduyun di belakang berebut saling mencengkeram denga jari-jari tajam – kami hilang catatan – negeri ini semakin menuju arah ke curam-curam ketika tebing dengan setia menelentangkan tubuhnya atas keluh dan semua macam resahnya retak-retak embun sampai pecah-pecah cuaca,..// (Daun-daun di jendela Perpustakaan geriis) bahwa perlunya dokumentasi sejarah di masa sekarang (dibuat januari 2014) dan perlunya pengokohan fundamental anak bangsa yang tidak saja menipis tetapi juga mengkhawatirkan dan bahkan mebahayakan keselamatan bangsa.

Lalu Aloeth Pathi dari Sekarjalak-Pati meberikan pembuka jalan agar sedikit optimisme melalui rasa (Tanah Tumpah Darahku II: Daun Kami)
//…bangga apa yang telah diperbuat,
Biarkan yang rontok bercerita
Bahwa kami pernah bersatu menciptakan hijau
Meski kini kering tak memberi sejuk
Tapi pernah menggores catatan
pada batangmu yang mulai rapuh
benih-benih yang aku sebarkan
mulai tumbuh menjadi tunas-tunas
siap menerjang pilar-pilar yang menghadang
biarkan akar itu menjalar
di sisi ruas-ruas jalan….// Aloet Pathi meyakinkan Ada suatu optimisme walau dalam keadaan dan bahkan rintangan, seakan kelak berjalan dengan sendirinya, seakan ia berkata nanti juga aka nada penyelesaian.
apapun itu nama dan jenisnya selalu berserakan.

 CecepNurbani penyair muda berbakat dar Garut memotret negreri dalam pandangan mudanya yang seakan kecewa,  demikian  syairnya:
//…ditrotoar..,
kaki lima mengadu nasib dengan
memasang badan takut takut petugas datang
seperti maling mengintip tuan rumah
gadis cilik bersaudara bernyanyi sambil menghirup udara segar dari kaleng Lem
pengamen jalanan bernyanyi bermuram durjana sambil melihatkan  taringnya berharap uang kertas yang diterima
suungguh konyol dan menyedihkan  negeri ini….//
(Apapun itu Nama dan Jenisnya Selalu Berserakan)
Ada suatu yang menarik untuk disimak sebagai renungan dalam mengapresiasi buku ini seperti

Melihat Tanah Air sendiri dari pandangan setiap orang Indonesia adalah warna-warni. Suka dan tak suka, puja dan cerca, senang dan bosan, sanjung dan kritik. Penyair  Dwi Klik Santosa memotret Indonesia dala kepahitannya, seperti tertuang dalam “Berita Para Pemabuk”
“Akukah tak layak hidup.
//…Di bumiku yang kaya
janji-janji seperti nyanyian iblis.
Tak benar aku hendak dibawa ke sana.
Tapi lihat aku kini.
Melulu mengais-ngais sampah
di negeri sendiri.”//
Dwi Klik Santosa ingin mengajak untuk enengok kepahitan itu. Kepahitan  hidup adalah pengalaman kegetiran seseorang agar ditempa menjadi kuat dan tak terulang.

Lalu penyair eL Trip Umiuki menuliskannya dala sebuah syair yang sangat mendalam bahwa keadaan – keadaan Indonesia dengan berbagai problema seperti
“Sumur Tanpa Dasar”, demikian syairnya penutupnya:
//…sarjono namanya
sarjana sains, ekonomi, sekaligus psikologi
sayang pengalaman kerja takpunya
bersimpan bara di kepala minta kerja ia kepada tetangganya
mandor bangunan di kota
mengaduk pasir dan semen ternyata bukan kerja sederhana
dengan dendam membara
mencangkul dia mencangkul
menggali lubang di kebunnya
takpeduli darah berlumur terus mencangkul
menggali sumur
senin selasa rabu kamis jumat sabtu
tak ada minggu dan hari libur ia
terus mencangkul terus//.
Demikian kebhinnekaan menjadi warna-wani dari sudut pandang sastrawan kita. Seperti Fahmi Wahid mencoba mengingatkan akan Indonesia sesungguhnya sebagai negeri maritime negeri bahari yang pernah Berjaya. Lewat “Tangis Keberagaman”, ia menuturkan :
//…di hunjur kuningnya ladang
pada tebaran kicau kepodang
semasa hembus sejuk angin gunung
melipur musim yang kian gamang
petuah dan petitih enggan dimengerti
dan kebersamaan kini tak punya arti
sebab semua manusia tak lagi punya nurani
menyelamatkan kearifan budaya bahari
yang hampir tak terjamah lagi….//

Penyair Gampang Prawoto juga menulis bahwa merasakan semua itu adalah rasa dan aroma setiap manusia yang kadang tak mengerti hitam dan putihnya apa yang terjadsi. Seua adalah rasa katanya seperti dituturkan dalam syair :
 “Secangkir Rasa”
//…jangan hanya manis di pantai bibir
pahit di pusara hati
lidahku belum kelu
pemanis tak biasa tersuguh di meja rasa
walau tanpa gula
aroma kopimu aku baca tanpa mengeja
panas – hangatnya warna.//.

Di puisi Moh. Ghufron Cholid memberi kekuatan utuk meyakinkan pandangan-pandangan itu bahwa Indonesia itu meiliki kekuatan yang tak akan goyah walau dalam kegetiran papa pun. Seperti tertuang dalam :
 ‘Sebab Indonesia Adalah Kita”
//…tumbuh di tiap mata
mata hari
mata jiwa
mata doa
yang tak kenal purba
Indonesia takkan musnah dalam peta
jika kita tak mengamini ramalan-ramalan asing
yang menanam benih-benih asing
dalam jiwa kerontang….//.

Senada dengan Moh. Ghufron Cholid, penyair Rezqie Muhammad AlFajar Atmanegara mengajak utuk saling menjaga keistimewaan Indonesia itu.
“Bhinneka Tunggal Ika adalah Aku”
//…di mana lagi kami tanam bulir harapan
bila seluruh kehijauan hutan bunda
telah habis digeser bangunan-bangunan
berbaju kawat, baja, semen dan beton
ke mana jua kami layarkan perahu kebersamaan
sebab semua kolam susu pertiwi
keruh sampah payau berbisa
bagaimana kami menegakkan tugu pertahanan
karena kini tiap jengkal tanah terbongkar
di keteragisan reruntuhan negeri inilah
mari, kita bergenggam dan saling gandeng bersama
mempertahankan hakikat dan keutuhan bangsa…//.


Roni Nugraha Syafroni dalam “Semboyan” di bait terakhir syairnya seakan mengambil keputusan tentang slogan kebangsaan kita agar menjadi semboyan yang tidak saja sebagai slogan tetapi dihayati, seperti dalam syair ini:
//…Semboyan ini tampak tak berguna dan usang,
tapi ada secercah keyakinan tak akan dibuang.
Terus dihayati diamalkan hingga usia petang,
agar berguna teruntuk generasi mendatang.//.

Ada sebab-sebab pemberian keputusan itu tentu dari pengalaman dan sejarah bangsa. Seakan tak terima juga jika bangsa ini mengalami keretakan dari rantai kebhinnekaan itu. Soekoso DM  menulisnya dalam syair “Sajak Trenyuh Kala Sayap Garuda Nyaris Runtuh”, demikianj bunyi cuplikannya:
//…biarkan beda adat jadi rahmat beda budaya jadi taman bunga                                                                                     sebab Tuhanlah yang telah menanam benihbenihnya
Orangorang bertegursapa                                                                                                                        saling menjabat saling cinta
(Di ruangruang kelas dan di tanah lapang anakanak bernyanyi                                                                                      lagu Satu Nusa Satu Bangsa dan Bagimu Negeri).//

Pujian pun diberikan penyair Syarif hidayatullah lewat
“Rangkaian ikatan huruf, Indonesiaku” seperti dalam cuplikan ini://…Alif yang tegak mampu jadi hutan esok hariNun tanpa titik menjadi danau yang melegenda. Baa nan mungil tempat transportasi membelah sungai negeriku. Gunung-gunung memperindah goresan Tuhan dalam ikatan satu Ika….//

Bahkan Wadie Maharief  meyakinkan akan kecintaan terhadap bangsa ini, Ia tuliskan lewat syair “Lima Ekor Merpati Menembus Mendung” demikian bunyi cuplikannya dalam bait terakhir :
//…Lima ekor merpati melesat
Lubang ozon mencairkan es di kutub
Tujuh lapis langit terluka
Lima ekor merpati kehilangan sayap
Jatuh di pulau-pulau terbakar
Api cintamu yang berkobar.//

Masih banyak puisi lain yang menarik dan enak dibaca dalam buku ini seperti karya-karya dari : Ridwan Ch. Madris, Sokanindya Pratiwi Wening, Sus S. Hardjono, Abdul Wahid, Andrian Eka Saputra, Dimas Indiana Senja, Eddie MNS Soemanto , Fasha Imani Febrianty, Iwan Kuswandi, Julia Hartini, Mohamad Amrin, Muhammad Hafeedz Amar Riskha, Nieranita, Novy Noorhayati Syahfida, Puji Astuti.

Akhirnya Wardjito Soeharso mengajak kita seua untuk merenungkan seperti judul puisinya “Ngudarasa” //Sadalan dalan
Anane mung gronjalan
Mergo akeh kedokan
Salurung lurung
Anane mung bingung
Mergo adoh gurung
Yen dalan wis kebak kedokan
Lurung wis akeh sing suwung
Gurung wis pedot sakdurunge diulur…// bahwa banyak tanda-tanda zaman ini untuk dapat tidak saja untuk direnungkan tetapi juga untuk disikapi generasi uda sekarang.
//…Tan ana asile kang mapan
Mula ta tansah elinga
Bebrayan iku tansah sangga sinangga
Abot enteng nora rinasa
Arepa awan panase sumelet
Bengine peteng ndedet lelimengan
Kabeh lumaku kanti rahayu.//.

Demikian jika sastrawan mengungkapkan apa yang dirasakan pancainderanya memberikan suguhan rasa tersendiri, semoga dapat memberikan penyejuk dan apresiasi mendalam terhadap buku ini.

                                                     Rg Bagus Warsono
Kurator sastra di HMGM












Hati seorang Ibu, antara Kasihan, Penyesalan, Kelemahan, Ketegasan, doa dan Rahasia

Hati seorang Ibu, antara Kasihan, Penyesalan, Kelemahan, Ketegasan, doa dan Rahasia, Sebuah dokumen kesaksian Reformasi Negeri
Oleh: Rg Bagus Warsono
Keputus-asa-an akan perubahan diperlihatkan  oleh puisi Ade Suryani dalam ‘Kalian memang Mengalami Sengsara’ , Ade mengetengahkan suatu kegembiraan di masa Reformsi ini dengan jaminan Bantuan Langsung Tunai yang kemudian menghilang lagi. bagi si miskin, jaminan hidup ini sungguh sangat bermanfaatmenyambung hidup. …//“Ibu terima dana kaum miskin dikala ibu tak memasak”//…, yang mungkin merupakan rekaman pengakuan rakyat miskin akan realisasi amanat undang-undang ini.
Sebuah kegembiraan lainnya adalah perubahan yang justru dialami oleh pribadi, sang ibu hanya dapat mengelus dada, seakan memaafkan bahwa , memang anak-anak (rakyat Indnesia) mengalami kesengsaraan di masa sebelumnya. Ade seakan mengharap untuk memaklumi akan perilaku konsumtif masytarakat.
Apa yang dikatakan Ade Suryani ditegaskan pula oleh Ardi Susanti agar mereka bicara akan apa yang terjadi di masa reformasi yang justru tak sama sekali ada perubahan membaik justrumenjadi-jadi,….//Jangan biarkan mereka mengotori ruang kita
Dengan ambisi murahan yang meraja
Demi menggemukkan hasrat semata//….dalam puisi “Bicaralah Nak”. Seperti juga diungkapkan oleh Tasinah: …//Ribuan orang berkumpul di halaman //Menerjang masuk kantor pos besarLalu melompat pagar Satu-satu mereka dipanggil , senyum si miskin dalam desakan//… (Tasinah, ‘Suatu hari di Kantor Pos Besar’).
Ungkapan kesaksian akan perubahan dratis terjadi di Bekasi yang direkam
Wahyu Ciptadalam:’Membakar Sampah Mie Instan’ :…//Di tempat kami berdiri
Ratusan  pabrik dan ribuan orang Bekasi
Menjadi ibu kost  bagi buruh Indonesia
Lalu macet sore hari jelang mesin pabrik
Berhenti//Di tempat kami berdiri corong pabrik berasap dan suara mesin //…

Sus S Hardjono,penyair ini mengungkapkan perjalanan reformasi sendiri yang sampaimengorbankan  nyawa. Lewat
‘Saksi Bisu Jembatan Semanggi’
…//mereka yang tertembak mati
masih ingatkan tentang trisakti
Di bawah kepak Elang//
Menyinggung langit ibumu
Airmatanya saksi bisu sebutir peluru
Bersarang di kepelamu//…
Sebuah penyesalan ibu juga terdapat dalam puisi karya Diana Roosetindaro,  akan hilangnya sebuah wilayah Indonesia yang hilang di atlas Indonesia. “Negeri (yang) Hilang” dan “Hilang dalam Sebuah Atlas” sebuah….//kendaraan tiada henti ini adalah kota yang hina bukan karena perempuan lacur yang tiap siang-malam menjajakan diri// ….dalam penuturannya.Lain pula dengan Dian Hartati dalam ‘Karamah II’ ada sepenggal bait yang menggelitik , …//kusebut namamu tanpa malu meski kuyu wajahmu mencerminkan letih onani anak negri tentang korupsi hukum yg diplesetkan menjadi tontonan abad ini lalu lugas lidahku menyeru sebelem kelu ssiiiiiiikkkkaaaaaaatt... jangan kau loyo lantaran ulah sontoloyo tetap perkasa menjadi Indonesiaku//…. Seakan berkata Indonesia tetap optimis menghadapi semua kejadian di jalannya reformasi ini.

Ini sebabnya ibu kita ingin sekali memberi jalan perjalanan anak negeri …//Ibu lebih suka kau diam dan menulis lagi lembar catatan catatan berikutnya dan sekarang usiamu hampir separuh dari usia ibu, ibu tahu kau sudah melihat sendiri warna hitam putih juga abu abu yang kadang kau temui di liku jalan menuju rumah.//…Gia Setiawati  Gheeah ‘Lembar Cacatan Aisyah’.

Sorotan lain dalam bahasa puisi dilukiskan oleh Hartati dalam’ Semua Pamong Pakai Lencana’ ia menyoroti perilaku pegawai negeri saat reformasi justru malah menjadi-jadi demikian lukisannya :
 …//ibu menunggu
masih ada pamong jujur di kantor ini
tapi dia cuti hari ini
Kantor pemerintahanku
layar monitor di meja menyajikan data//…, dibagian lain Hartati menuliskan
…//maaf hari ini bapak dinas luar
besok pagi boleh ibu kembali
kantor pemerintahanku
bendera berkibar //…

Penyesalan juga diberikan perempuan penyair lainnya seperti puisi berjudul Kerjamu Sia-Sia ini:
…//memahami alam
memperbaiki sejarah dusta
menangkap maling
memberi fakir
Namun setelah 10 tahun gonjang-ganjing
pepesan kosong karena dimakan kucing garong//….Haryatiningsih dalam ,Kerjamu Sia-Sia’.

Sedang Julia Hartini mengungkapkan sebagaimana layaknya memposisikan sebagai seorang ibu yang senantiasa mendoakan anak-anaknya , ….//pada ibu selalu kutasbihkan doa-doamenjadi sempurna rindu menuju kepulangan//(Peristiwa Luka).Begitu juga Mariana Hanafi dalam Elegi Kekosongan Ibu diungkapkannya rasa kasih saying itu: ….// ibu menatap kosong
hatinya pilu,lumpuh
tak lagi mampu mengenali anaknya
dia lupa cara disayangi tapi mampu mengasihi
meski kini keriput menghampirinya
oh ibu,senjamu kini menanti//… Seirama juga ditampilkan oleh Nieranita :
….//Sepasang mata menyipit
Di tenggah arus kemacetaan jalan
Memantau derasnya keegoisan
Tak ada senyum hangat menyapa
Manusia menggila dengan hidupnya
Tercabik kenyamanan hidup//
Berlinag air mata sang ibu
Malu lihat kebusungan dada para buntutnya
Wajah terpasang memelas
Di belakang seringai sinis  mulai Nampak
Menghina tanpa merajuk’’//…(Puisi untuk Anak Bangsa)

Jakarta Gelanggang Demonstrasi karya Sri Sunarti Basuki:
…//Ibu kota wajah Indonesia
Demo wajah Jakarta
Ingat Jakarta ingat demonstrasi
Karena Jakarta Ibukota Wajah Indonesia
Hari ini gelanggang sepi tapi
besok Demontran ke gelanggang Jakarta
Hari ini polisi bisa minum kopi dan sarapan pagi//…
Sebaliknya Putri Akina menganggap reformasi hanya isapan jempol belaka seperti dalam “TeriakanLirih”//Sengit mentari memancar di atas awan , Sepasang mata menyipit
Di tenggah arus kemacetaan jalan
Memantau derasnya keegoisan
Tak ada senyum hangat menyapa
Manusia menggila dengan hidupnya
Tercabik kenyamanan hidup; Juga pada puisi lain menuturkan :
…//Ternyata Indonesia dulu dan sekarang sama
tak ada merubah warna
tak ada merubah cuaca
tak ada tawa
lelucon belaka
guyon nasional
humor basi tadi malam//….(Rofiah Ros dalam  ‘Mereka lupa dikasih Uang Ibu).

Di tempat lain dalam masa reformasi Indonesia itu Wahyu Cipta mengumpamakan seperti ‘Membakar Sampah Mie Instan’
…//Di tempat kami berdiri
Ratusan  pabrik dan ribuan orang Bekasi
Menjadi ibu kost  bagi buruh Indonesia
Lalu macet sore hari jelang mesin pabrik
berhenti
Di tempat kami berdiri corong pabrik berasap dan suara mesin //…


….//Aku meyakini, ialah rangkuman peristiwa tentang cinta Terkemas menjelma uban ….// keriput dan langkah renta
Pada alur tangan, tempat takdir diletakkan
Lalu perlahan kau melewati
Dengan ketabahan ungu Tanpa gerutu,,
Sekalipun luka nyenyak,, di dadamu yang sajak,
Mak,//…(Seruni uniedalam Pulang).

Keadaan ini ditegaskan leh Wulan Ajeng Fitriani dalam ‘Jujur Tlah Dikubur’
//Ibupun ternganga
Tak menyangka
Hidup seberapakah kita di alam fana?
Mengapa tikus-tikus liar itu masih berdiri tegak disana?
Bagai pembantu yang menilap uang majikannya
Nampak kacang yang lupa kulitnya
Mengendap – endap mengambil jatah rakyat
Menilap rizki umat//….

Akhirnya sebuah dokumen kesaksian ibu di era reformasi ini ditiutup dengan …//Ibu izinkan pulang kerahimmu sebab takutgigil dan lapar menelan kutukmu.//…. Dyah Setyawati , katanya dalam ‘Pesan Rakyat Kepada wakil Rakyat’.


Rg Bagus warsono