Minggu, 20 April 2014

Kekecewaan , Penyesalan dan Keyakinan Penyair Jiwa Kebhinnekaan

Pengantar Antologi Lumbung Puisi sastrawan Indonesia
Oleg : Rg Bagus warsono

Kekecewaan , Penyesalan dan Keyakinan Penyair Jiwa Kebhinnekaan

Ali Syamsudin Arsi seorang penyair asal Barabai, Kab. Hulu Sungai Tengah, Prov. Kalimantan Selatan seakan mebuka antologi ini dengan kekhawatiran terhadap negeri dengan terlulis lewat  “Daun-daun di jendela Perpustakaan geriis”  //… -ada libasan bayang-bayang ketika orang-orang berduyun di belakang berebut saling mencengkeram denga jari-jari tajam – kami hilang catatan – negeri ini semakin menuju arah ke curam-curam ketika tebing dengan setia menelentangkan tubuhnya atas keluh dan semua macam resahnya retak-retak embun sampai pecah-pecah cuaca,..// (Daun-daun di jendela Perpustakaan geriis) bahwa perlunya dokumentasi sejarah di masa sekarang (dibuat januari 2014) dan perlunya pengokohan fundamental anak bangsa yang tidak saja menipis tetapi juga mengkhawatirkan dan bahkan mebahayakan keselamatan bangsa.

Lalu Aloeth Pathi dari Sekarjalak-Pati meberikan pembuka jalan agar sedikit optimisme melalui rasa (Tanah Tumpah Darahku II: Daun Kami)
//…bangga apa yang telah diperbuat,
Biarkan yang rontok bercerita
Bahwa kami pernah bersatu menciptakan hijau
Meski kini kering tak memberi sejuk
Tapi pernah menggores catatan
pada batangmu yang mulai rapuh
benih-benih yang aku sebarkan
mulai tumbuh menjadi tunas-tunas
siap menerjang pilar-pilar yang menghadang
biarkan akar itu menjalar
di sisi ruas-ruas jalan….// Aloet Pathi meyakinkan Ada suatu optimisme walau dalam keadaan dan bahkan rintangan, seakan kelak berjalan dengan sendirinya, seakan ia berkata nanti juga aka nada penyelesaian.
apapun itu nama dan jenisnya selalu berserakan.

 CecepNurbani penyair muda berbakat dar Garut memotret negreri dalam pandangan mudanya yang seakan kecewa,  demikian  syairnya:
//…ditrotoar..,
kaki lima mengadu nasib dengan
memasang badan takut takut petugas datang
seperti maling mengintip tuan rumah
gadis cilik bersaudara bernyanyi sambil menghirup udara segar dari kaleng Lem
pengamen jalanan bernyanyi bermuram durjana sambil melihatkan  taringnya berharap uang kertas yang diterima
suungguh konyol dan menyedihkan  negeri ini….//
(Apapun itu Nama dan Jenisnya Selalu Berserakan)
Ada suatu yang menarik untuk disimak sebagai renungan dalam mengapresiasi buku ini seperti

Melihat Tanah Air sendiri dari pandangan setiap orang Indonesia adalah warna-warni. Suka dan tak suka, puja dan cerca, senang dan bosan, sanjung dan kritik. Penyair  Dwi Klik Santosa memotret Indonesia dala kepahitannya, seperti tertuang dalam “Berita Para Pemabuk”
“Akukah tak layak hidup.
//…Di bumiku yang kaya
janji-janji seperti nyanyian iblis.
Tak benar aku hendak dibawa ke sana.
Tapi lihat aku kini.
Melulu mengais-ngais sampah
di negeri sendiri.”//
Dwi Klik Santosa ingin mengajak untuk enengok kepahitan itu. Kepahitan  hidup adalah pengalaman kegetiran seseorang agar ditempa menjadi kuat dan tak terulang.

Lalu penyair eL Trip Umiuki menuliskannya dala sebuah syair yang sangat mendalam bahwa keadaan – keadaan Indonesia dengan berbagai problema seperti
“Sumur Tanpa Dasar”, demikian syairnya penutupnya:
//…sarjono namanya
sarjana sains, ekonomi, sekaligus psikologi
sayang pengalaman kerja takpunya
bersimpan bara di kepala minta kerja ia kepada tetangganya
mandor bangunan di kota
mengaduk pasir dan semen ternyata bukan kerja sederhana
dengan dendam membara
mencangkul dia mencangkul
menggali lubang di kebunnya
takpeduli darah berlumur terus mencangkul
menggali sumur
senin selasa rabu kamis jumat sabtu
tak ada minggu dan hari libur ia
terus mencangkul terus//.
Demikian kebhinnekaan menjadi warna-wani dari sudut pandang sastrawan kita. Seperti Fahmi Wahid mencoba mengingatkan akan Indonesia sesungguhnya sebagai negeri maritime negeri bahari yang pernah Berjaya. Lewat “Tangis Keberagaman”, ia menuturkan :
//…di hunjur kuningnya ladang
pada tebaran kicau kepodang
semasa hembus sejuk angin gunung
melipur musim yang kian gamang
petuah dan petitih enggan dimengerti
dan kebersamaan kini tak punya arti
sebab semua manusia tak lagi punya nurani
menyelamatkan kearifan budaya bahari
yang hampir tak terjamah lagi….//

Penyair Gampang Prawoto juga menulis bahwa merasakan semua itu adalah rasa dan aroma setiap manusia yang kadang tak mengerti hitam dan putihnya apa yang terjadsi. Seua adalah rasa katanya seperti dituturkan dalam syair :
 “Secangkir Rasa”
//…jangan hanya manis di pantai bibir
pahit di pusara hati
lidahku belum kelu
pemanis tak biasa tersuguh di meja rasa
walau tanpa gula
aroma kopimu aku baca tanpa mengeja
panas – hangatnya warna.//.

Di puisi Moh. Ghufron Cholid memberi kekuatan utuk meyakinkan pandangan-pandangan itu bahwa Indonesia itu meiliki kekuatan yang tak akan goyah walau dalam kegetiran papa pun. Seperti tertuang dalam :
 ‘Sebab Indonesia Adalah Kita”
//…tumbuh di tiap mata
mata hari
mata jiwa
mata doa
yang tak kenal purba
Indonesia takkan musnah dalam peta
jika kita tak mengamini ramalan-ramalan asing
yang menanam benih-benih asing
dalam jiwa kerontang….//.

Senada dengan Moh. Ghufron Cholid, penyair Rezqie Muhammad AlFajar Atmanegara mengajak utuk saling menjaga keistimewaan Indonesia itu.
“Bhinneka Tunggal Ika adalah Aku”
//…di mana lagi kami tanam bulir harapan
bila seluruh kehijauan hutan bunda
telah habis digeser bangunan-bangunan
berbaju kawat, baja, semen dan beton
ke mana jua kami layarkan perahu kebersamaan
sebab semua kolam susu pertiwi
keruh sampah payau berbisa
bagaimana kami menegakkan tugu pertahanan
karena kini tiap jengkal tanah terbongkar
di keteragisan reruntuhan negeri inilah
mari, kita bergenggam dan saling gandeng bersama
mempertahankan hakikat dan keutuhan bangsa…//.


Roni Nugraha Syafroni dalam “Semboyan” di bait terakhir syairnya seakan mengambil keputusan tentang slogan kebangsaan kita agar menjadi semboyan yang tidak saja sebagai slogan tetapi dihayati, seperti dalam syair ini:
//…Semboyan ini tampak tak berguna dan usang,
tapi ada secercah keyakinan tak akan dibuang.
Terus dihayati diamalkan hingga usia petang,
agar berguna teruntuk generasi mendatang.//.

Ada sebab-sebab pemberian keputusan itu tentu dari pengalaman dan sejarah bangsa. Seakan tak terima juga jika bangsa ini mengalami keretakan dari rantai kebhinnekaan itu. Soekoso DM  menulisnya dalam syair “Sajak Trenyuh Kala Sayap Garuda Nyaris Runtuh”, demikianj bunyi cuplikannya:
//…biarkan beda adat jadi rahmat beda budaya jadi taman bunga                                                                                     sebab Tuhanlah yang telah menanam benihbenihnya
Orangorang bertegursapa                                                                                                                        saling menjabat saling cinta
(Di ruangruang kelas dan di tanah lapang anakanak bernyanyi                                                                                      lagu Satu Nusa Satu Bangsa dan Bagimu Negeri).//

Pujian pun diberikan penyair Syarif hidayatullah lewat
“Rangkaian ikatan huruf, Indonesiaku” seperti dalam cuplikan ini://…Alif yang tegak mampu jadi hutan esok hariNun tanpa titik menjadi danau yang melegenda. Baa nan mungil tempat transportasi membelah sungai negeriku. Gunung-gunung memperindah goresan Tuhan dalam ikatan satu Ika….//

Bahkan Wadie Maharief  meyakinkan akan kecintaan terhadap bangsa ini, Ia tuliskan lewat syair “Lima Ekor Merpati Menembus Mendung” demikian bunyi cuplikannya dalam bait terakhir :
//…Lima ekor merpati melesat
Lubang ozon mencairkan es di kutub
Tujuh lapis langit terluka
Lima ekor merpati kehilangan sayap
Jatuh di pulau-pulau terbakar
Api cintamu yang berkobar.//

Masih banyak puisi lain yang menarik dan enak dibaca dalam buku ini seperti karya-karya dari : Ridwan Ch. Madris, Sokanindya Pratiwi Wening, Sus S. Hardjono, Abdul Wahid, Andrian Eka Saputra, Dimas Indiana Senja, Eddie MNS Soemanto , Fasha Imani Febrianty, Iwan Kuswandi, Julia Hartini, Mohamad Amrin, Muhammad Hafeedz Amar Riskha, Nieranita, Novy Noorhayati Syahfida, Puji Astuti.

Akhirnya Wardjito Soeharso mengajak kita seua untuk merenungkan seperti judul puisinya “Ngudarasa” //Sadalan dalan
Anane mung gronjalan
Mergo akeh kedokan
Salurung lurung
Anane mung bingung
Mergo adoh gurung
Yen dalan wis kebak kedokan
Lurung wis akeh sing suwung
Gurung wis pedot sakdurunge diulur…// bahwa banyak tanda-tanda zaman ini untuk dapat tidak saja untuk direnungkan tetapi juga untuk disikapi generasi uda sekarang.
//…Tan ana asile kang mapan
Mula ta tansah elinga
Bebrayan iku tansah sangga sinangga
Abot enteng nora rinasa
Arepa awan panase sumelet
Bengine peteng ndedet lelimengan
Kabeh lumaku kanti rahayu.//.

Demikian jika sastrawan mengungkapkan apa yang dirasakan pancainderanya memberikan suguhan rasa tersendiri, semoga dapat memberikan penyejuk dan apresiasi mendalam terhadap buku ini.

                                                     Rg Bagus Warsono
Kurator sastra di HMGM












Hati seorang Ibu, antara Kasihan, Penyesalan, Kelemahan, Ketegasan, doa dan Rahasia

Hati seorang Ibu, antara Kasihan, Penyesalan, Kelemahan, Ketegasan, doa dan Rahasia, Sebuah dokumen kesaksian Reformasi Negeri
Oleh: Rg Bagus Warsono
Keputus-asa-an akan perubahan diperlihatkan  oleh puisi Ade Suryani dalam ‘Kalian memang Mengalami Sengsara’ , Ade mengetengahkan suatu kegembiraan di masa Reformsi ini dengan jaminan Bantuan Langsung Tunai yang kemudian menghilang lagi. bagi si miskin, jaminan hidup ini sungguh sangat bermanfaatmenyambung hidup. …//“Ibu terima dana kaum miskin dikala ibu tak memasak”//…, yang mungkin merupakan rekaman pengakuan rakyat miskin akan realisasi amanat undang-undang ini.
Sebuah kegembiraan lainnya adalah perubahan yang justru dialami oleh pribadi, sang ibu hanya dapat mengelus dada, seakan memaafkan bahwa , memang anak-anak (rakyat Indnesia) mengalami kesengsaraan di masa sebelumnya. Ade seakan mengharap untuk memaklumi akan perilaku konsumtif masytarakat.
Apa yang dikatakan Ade Suryani ditegaskan pula oleh Ardi Susanti agar mereka bicara akan apa yang terjadi di masa reformasi yang justru tak sama sekali ada perubahan membaik justrumenjadi-jadi,….//Jangan biarkan mereka mengotori ruang kita
Dengan ambisi murahan yang meraja
Demi menggemukkan hasrat semata//….dalam puisi “Bicaralah Nak”. Seperti juga diungkapkan oleh Tasinah: …//Ribuan orang berkumpul di halaman //Menerjang masuk kantor pos besarLalu melompat pagar Satu-satu mereka dipanggil , senyum si miskin dalam desakan//… (Tasinah, ‘Suatu hari di Kantor Pos Besar’).
Ungkapan kesaksian akan perubahan dratis terjadi di Bekasi yang direkam
Wahyu Ciptadalam:’Membakar Sampah Mie Instan’ :…//Di tempat kami berdiri
Ratusan  pabrik dan ribuan orang Bekasi
Menjadi ibu kost  bagi buruh Indonesia
Lalu macet sore hari jelang mesin pabrik
Berhenti//Di tempat kami berdiri corong pabrik berasap dan suara mesin //…

Sus S Hardjono,penyair ini mengungkapkan perjalanan reformasi sendiri yang sampaimengorbankan  nyawa. Lewat
‘Saksi Bisu Jembatan Semanggi’
…//mereka yang tertembak mati
masih ingatkan tentang trisakti
Di bawah kepak Elang//
Menyinggung langit ibumu
Airmatanya saksi bisu sebutir peluru
Bersarang di kepelamu//…
Sebuah penyesalan ibu juga terdapat dalam puisi karya Diana Roosetindaro,  akan hilangnya sebuah wilayah Indonesia yang hilang di atlas Indonesia. “Negeri (yang) Hilang” dan “Hilang dalam Sebuah Atlas” sebuah….//kendaraan tiada henti ini adalah kota yang hina bukan karena perempuan lacur yang tiap siang-malam menjajakan diri// ….dalam penuturannya.Lain pula dengan Dian Hartati dalam ‘Karamah II’ ada sepenggal bait yang menggelitik , …//kusebut namamu tanpa malu meski kuyu wajahmu mencerminkan letih onani anak negri tentang korupsi hukum yg diplesetkan menjadi tontonan abad ini lalu lugas lidahku menyeru sebelem kelu ssiiiiiiikkkkaaaaaaatt... jangan kau loyo lantaran ulah sontoloyo tetap perkasa menjadi Indonesiaku//…. Seakan berkata Indonesia tetap optimis menghadapi semua kejadian di jalannya reformasi ini.

Ini sebabnya ibu kita ingin sekali memberi jalan perjalanan anak negeri …//Ibu lebih suka kau diam dan menulis lagi lembar catatan catatan berikutnya dan sekarang usiamu hampir separuh dari usia ibu, ibu tahu kau sudah melihat sendiri warna hitam putih juga abu abu yang kadang kau temui di liku jalan menuju rumah.//…Gia Setiawati  Gheeah ‘Lembar Cacatan Aisyah’.

Sorotan lain dalam bahasa puisi dilukiskan oleh Hartati dalam’ Semua Pamong Pakai Lencana’ ia menyoroti perilaku pegawai negeri saat reformasi justru malah menjadi-jadi demikian lukisannya :
 …//ibu menunggu
masih ada pamong jujur di kantor ini
tapi dia cuti hari ini
Kantor pemerintahanku
layar monitor di meja menyajikan data//…, dibagian lain Hartati menuliskan
…//maaf hari ini bapak dinas luar
besok pagi boleh ibu kembali
kantor pemerintahanku
bendera berkibar //…

Penyesalan juga diberikan perempuan penyair lainnya seperti puisi berjudul Kerjamu Sia-Sia ini:
…//memahami alam
memperbaiki sejarah dusta
menangkap maling
memberi fakir
Namun setelah 10 tahun gonjang-ganjing
pepesan kosong karena dimakan kucing garong//….Haryatiningsih dalam ,Kerjamu Sia-Sia’.

Sedang Julia Hartini mengungkapkan sebagaimana layaknya memposisikan sebagai seorang ibu yang senantiasa mendoakan anak-anaknya , ….//pada ibu selalu kutasbihkan doa-doamenjadi sempurna rindu menuju kepulangan//(Peristiwa Luka).Begitu juga Mariana Hanafi dalam Elegi Kekosongan Ibu diungkapkannya rasa kasih saying itu: ….// ibu menatap kosong
hatinya pilu,lumpuh
tak lagi mampu mengenali anaknya
dia lupa cara disayangi tapi mampu mengasihi
meski kini keriput menghampirinya
oh ibu,senjamu kini menanti//… Seirama juga ditampilkan oleh Nieranita :
….//Sepasang mata menyipit
Di tenggah arus kemacetaan jalan
Memantau derasnya keegoisan
Tak ada senyum hangat menyapa
Manusia menggila dengan hidupnya
Tercabik kenyamanan hidup//
Berlinag air mata sang ibu
Malu lihat kebusungan dada para buntutnya
Wajah terpasang memelas
Di belakang seringai sinis  mulai Nampak
Menghina tanpa merajuk’’//…(Puisi untuk Anak Bangsa)

Jakarta Gelanggang Demonstrasi karya Sri Sunarti Basuki:
…//Ibu kota wajah Indonesia
Demo wajah Jakarta
Ingat Jakarta ingat demonstrasi
Karena Jakarta Ibukota Wajah Indonesia
Hari ini gelanggang sepi tapi
besok Demontran ke gelanggang Jakarta
Hari ini polisi bisa minum kopi dan sarapan pagi//…
Sebaliknya Putri Akina menganggap reformasi hanya isapan jempol belaka seperti dalam “TeriakanLirih”//Sengit mentari memancar di atas awan , Sepasang mata menyipit
Di tenggah arus kemacetaan jalan
Memantau derasnya keegoisan
Tak ada senyum hangat menyapa
Manusia menggila dengan hidupnya
Tercabik kenyamanan hidup; Juga pada puisi lain menuturkan :
…//Ternyata Indonesia dulu dan sekarang sama
tak ada merubah warna
tak ada merubah cuaca
tak ada tawa
lelucon belaka
guyon nasional
humor basi tadi malam//….(Rofiah Ros dalam  ‘Mereka lupa dikasih Uang Ibu).

Di tempat lain dalam masa reformasi Indonesia itu Wahyu Cipta mengumpamakan seperti ‘Membakar Sampah Mie Instan’
…//Di tempat kami berdiri
Ratusan  pabrik dan ribuan orang Bekasi
Menjadi ibu kost  bagi buruh Indonesia
Lalu macet sore hari jelang mesin pabrik
berhenti
Di tempat kami berdiri corong pabrik berasap dan suara mesin //…


….//Aku meyakini, ialah rangkuman peristiwa tentang cinta Terkemas menjelma uban ….// keriput dan langkah renta
Pada alur tangan, tempat takdir diletakkan
Lalu perlahan kau melewati
Dengan ketabahan ungu Tanpa gerutu,,
Sekalipun luka nyenyak,, di dadamu yang sajak,
Mak,//…(Seruni uniedalam Pulang).

Keadaan ini ditegaskan leh Wulan Ajeng Fitriani dalam ‘Jujur Tlah Dikubur’
//Ibupun ternganga
Tak menyangka
Hidup seberapakah kita di alam fana?
Mengapa tikus-tikus liar itu masih berdiri tegak disana?
Bagai pembantu yang menilap uang majikannya
Nampak kacang yang lupa kulitnya
Mengendap – endap mengambil jatah rakyat
Menilap rizki umat//….

Akhirnya sebuah dokumen kesaksian ibu di era reformasi ini ditiutup dengan …//Ibu izinkan pulang kerahimmu sebab takutgigil dan lapar menelan kutukmu.//…. Dyah Setyawati , katanya dalam ‘Pesan Rakyat Kepada wakil Rakyat’.


Rg Bagus warsono