Sabtu, 02 Januari 2016

Penyair Cantik dengan Karya Cantik


Rg Bagus Warsono
Cantik adalah keberuntungan, itu kata bayak orang. Bahkan menurut banyak penelitian, orang cantik bernasib baik. Bukti itu diperlihatkan gejalanya di zaman ini, karena cantik memiliki daya tarik. Penulis tidak berurusan dengan nasib manusia karena itu urusan Allah. Sekarang kita telaah apakah cantik memiliki keistimewaan lain disamping wajah? Kita buktikan keistimewaan dalam hal olah pikir terutama di karya sastra terkini apakah wanita cantik menjadi seorang penyair hanya bermodalkan wajah cantik atau berpenampilan sexi?
Menjadi penyair sangatlah mudah, termasuk bagi perempuan yang masih muda, modalnya cuma membaca dan menulis, porsinya tentu lebih banyak membaca, membaca bacaan beraneka ragam dan jenisnya, mereka yang telah memiliki nama besar adalah perempuan-perempuan yang akrab dengan buku. Dari membaca ini wawasan dan ide kreatif baru muncul dan bagi mereka yang pandai 'membaca situasi dapat membuahkan karya hebat, bahkan luar biasa.
Penulis tidak mengharap diakhir apresiasi tulisan ini perempuan penyair medadak merias diri semakin tambah cantik. Sebuah pembuka tulisan agar tidak menjadi malapetaka penulis, sebab bila salah kata, bisa jadi rumahku dilempar batu ibu-ibu penyair yang doeloe memang cantik karena termakan usia. Atau lebih tragisnya penulis disangka diskrimiatif. Bukan itu maksudnya tetapi lebih kepada sebuah telaah apakah penyair cantik juga berkarya sastra yang juga cantik? atau sebaliknya mereka terjun ke dunia tulis menulis hanya cari populeritas semata.
Tentu ketika sicantik tampil, semua mata yang berada di perhelatan sastra itu tertuju pada si cantik. Terutama mata-mata laki-laki yang "ijo" ketika liat cewek cantik (penulis sih tidak, maksudnya tidak mau kalah sama yang muda). So pasti mereka bukan mengapresiasi baca puisi tetapi lebih terhadap cantiknya itu. Sebuah dukungan nilai perhatian penonton yang dapat mempengaruhi penilaian atas penampilan baca puisi. Jadi sicantik sudah unggul dalam peraihan apresiasi orang lain. Nah sampai disini jangan komen dulu ya. Mari kita buka fakta-fakta itu.
Penyair adalah penulis yang slalu dalam 'pecarian diri dalam karyanya untuk menemukan kepuasan profesi, termasuk perempuan penyair muda nan jelita. Ketika Laksmi Pamuntjak, Dyah Merta,Ratna Ayu Budhiarti,Ayu Utami, Asma Nadia yang telah dahulu populair menemukan jati diri sebagai perempuan penyair maka pada saat itulah sebuah keberhasilan proses pencarian karya sejati ditemukan sehingga memetik baginya sebuah tangga awal keberhasilan sebagai penyair populair.
Proses 'pencarian itu memberikan barbagai tawaran untuk selanjutnya ditentukan pilihan sebagai bentuk khas bagi seorang seniman sehingga melekat antara nama dan karyanya.
Kekurangan pemahaman terhadap 'membaca dalam arti luas membuat pandangan perempuan penyair muda bartahan pada posisi penggembira. Sebuah keadaan 'membaca pandangan yang keliru, padahal tokoh tokoh perempuan penyair yang telah populair itu jugu telah melakukan proses pembentukan jati diri dengan berliku. Mereka ada populair karena membuat novel atau cerpen, sehingga menguatkan sosok perempuan penyair yang tiperhitungkan di Indonesia.
Kita mengenal tokoh-tokoh perempuan penyair luar negeri sebut saja misalnya, Jackie Collins (4 October 1937 – 19 September 2015) penulis Inggris, Nimah Ismail Nawwab dari Malaysia, Ayat al Qurmezi dari Bahrain, Alejandra Pizarnik (29-4-1936 – 25-9-1972) dari Argentina, mereka memantapkan kepenyairannya lewat novel yang mejadi best seller menembus pasar dunia. Jadi dalam hal ini untuk mecapai tangga kepopulairan tidak mesti menulis puisi tetapi menulis apa saja termasuk novel dan cerpen atau esai untuk memantapkan kekuatan ‘penyatuan nama dan karya seseorang yang memiliki ke khas-an tersendiri.
Gairah menjadi perempuan penyair semakin tampak bersemangat dalam lima tahun belakangan ini (mulai 2010) dipacu oleh facebook dan jaringan situs lain, memberikan komunikasi dan percepatan 'daya kenal. Nama dan wajah cantik mereka membuat menelan liur bagi pemirsa yang berteman (termasuk juga penulis). Namun sungguhpun demikian (sah-sah saja) terdapat sosok-sosok perempuan penyair yang enggan menampilkan wajah ayu-nya. Perempuan-perempuan penyair ini nyaris tanpa gambar wajah dan terkadang nama pun disamarkan tetapi karya mereka sangat bagus dan patut diapresiasi luas.
Bagaimana tidak tertarik, sudah cantik penyair pula. Sebuah keunggulan budi pekerti seorang perempuan yang didambakan laki-laki bujangan (kalau penulis merasa terlambat). Sebab penyair sejati memiliki pribadi baik dan talenta yakni bersyair itu. Isi syair yang menyentuh perasaan dan wawasan membuat sebuah kepribadian yang diharapkan. Tentu maksudnya tidak demikian, jati diri perlu ditampilkan agar dapat dikenal luas sebab penyair . Karena penyair adalah publik figur , seniman dan bisa dianggap sebagai artis yang memiliki kekuatan perhatian masyarakat dan fand yang banyak.
Penulis tak dapat melontarkan nama si cantik satu per satu (dengan bukti karya puisi yang dipertanggung-jawabkan). seperti nama-nama tak asing seperti Nana Riskhi Susanti, Inggit Putria Marga, Laksmi Pamuntjak,Ayu Cipta, Nova Riyanti Yusuf, Ning Ida,Ratna Ayu Budhiarti, Sendri Yakti,Umi Azzurasantika,Asma Nadia, Dyah Merta,Retno Iswandari, Dewi ‘Dee’ Lestari,Inggit Putria Marga , Akidah Gauzillah dan lainnya (bisa ditambahkan) yang telah lebih mapan sebagai penyair.
Kemudian di jajaran cantik muda belia kita kenal Fyra Fatima, Serüni Unié, Fasha Imani Febriyanti, Yarica Eryana, Mita Supardi a.k.a., Rai Sri Artini, Melur seruni, Rizky Endang Sugiharti, Fitri Merawati, Anggi Putri W, dan banyak lagi (bisa ditambahkan karena keterbatasan wawasan dan kurang hafal dan tahu orangnya lupa namanya) mereka tubuh membuat mekarnya sastra Indonesia.
Tak lupa, penulis juga harus mengetengahkan perempuan penyair yang tetap cantik baik orangnya maupun karyanya yang makin sangat cantik diusia yang sangat 'mantap, Namun sebelumnya mohon maaf tidak disebut dalam artikel ini , dan tentu dalam tema yang berbeda. Mereka perempuan penyair yang tetap cantik dan mantap walau sudah bercucu adalah tokoh perempuan penyair yang menjadi inspirator bagi yang muda-muda.
Menyadari dampak yang ditimbulkan dari artikel ini pasti ada, seperti tulisan lain yang lalu-lalu, kecam, hujat dan kritik bahkan mungkin lebih parah terhadap diri penulis adalah hal biasa. Bukankah menjadi seorang penulis termasuk penyair harus siap menghadapi semua itu. Mereka yang telah mapan dan terkenal adalah mereka yang mengalami perjalanannya yang tak mudah begitu saja , sehingga karya mereka sangat cantik ditambah penulisnya pun cantik.
Indramayu, 29 Desember 2015
rg bagus warsono kurator di HMGM.

"Penyair Ndeso yang Menasional"

"Penyair Ndeso yang Menasional"
Rg Bagus Warsono
Menjadi penyair gak usah pergi ke kota apalagi ikutan audisi . Nulis aja di rumah sambil momong 'puthu. Bisa jadi sukses tampa disadari. Karena karya-karya yang monumental. Karena zaman bukan lagi zaman kuda gigit besi tetapi zaman 'gang kecil dibeton, zaman 'pesawat tv setebal triplex, zaman 'sepur pakai tiket , zaman pedagang sayur cantik seperti artis, zaman kopi zahe tapi gambarnya saja rasa jahe, zaman hp bukan zaman iterlokal,telegram di kantor telkom.
Jangan dikira mereka yang sukses dengan karya menasional mudah begitu saja digapai. Banyak liku berliku untuk menjadi penyair bek'en, tetapi dia tidak ndeso walau orang ndeso, tidak 'Ge eR, tapi percaya diri. jadilah apa yang diidamkan sukses cemerlang, mengapolo sampai bintang.
Dunia sastra tak mengenal batas, apalagi asal dilahirkan , kampung klutuk, kota kecil, nun jauh dari ramainya angkutan kota, penyair ndeso melabrak batas kota dan bertengger nama dan karyanya menasional .
Apalagi zamam 'modem asal baterai isi penuh jadilah bak bintang 'gubuk meceng' (sewaktu-watu terlihat, sewaktu-waktu bersinar, sewaktu-waktu ketutup mendung seperti musim hujan ini) . Tapi dia dan karyanya tidak demikian karena dia memang dari gugusan andromeda yang terus berkobar.
Bukan hanya laki-laki , perempuan ndeso juga. Orang tak menyangka, ibu yang suka mecuci baju di sungai atau yang tiap hari jualan dipasaran ternyata seorang penyair terkenal. Karyanya dihomati oleh banyak kritikus sastra, wajahnya mengisi berbagai situs baik yang amatiran maupun situs benua. Penyair ndeso kini tak lagi ndeso.
Menasional itu macam-macam seperti Tan Lioe Ie, ia menulis puisi tentang masa depan (mengikuti jejak pujangga besar Jayabaya dalam fersi lain) ada ada lagi karena karyanya yang monumetal sehingga menjulang, juga karena ketekunannya dalam komitment sebagai penyair yang memiliki jati diri dan ke-khas-an tersendiri.
Yang karena karya monumental kita mengenal Toto St Radik dengan "Indonesia setengah tiang",Kemudian Oka Rusmini karena "Putu Menolong Tuhan" , ada Nanang Suryadi karena "Negeri Menangis".
Menjadi penyair yang menasional tetep direkomendasi orang lain lebih dari seorang, lembaga dan pembaca serta pengakuan dari lembaga/ perguruan yang berkecimpung di bidang sastra, bukan oleh situs-situs yang bisa dipesan, apalagi penobatan kepanitiaan yang mendapat sponsor. Terutama sekali adalah pengadilan publik, publik (pembaca)-lah yang memutuskan vonisnya. Kini telah banyak karya sastra bagus yang perlu mendapat apresiasi . Mereka ternyata berasal dari berbagai pelosok nusantara. Penyair 'ndeso yang berkarya bukan main idahnya yang mewarnai jagat sastra Tanah Air.
Untuk memulai menyebut penyair ndeso yang menasional perlu sekali dibuat batasan apa/siapa sih penyair yang disebut menasional ? Penulis mencoba membuat batasan yang patokannya adalah karyanya bukan manusianya karena kata penyair melekat dengan karyanya itu. Lalu batasan ini penulis memberi tanda kutip 'karya yang memiliki berbagai aspek untuk dapat disebut nasional yakni: karya tersebut belum ada sebelumnya, sesuatu yang baru, unik, monumental, bermutu dan memiliki mafaat sebagai bacaan nasional (universal). Tentu saja akan mendapat bantahan dari berbagai pihak, ini dimaksudkan agar ada dasar yang bisa dipertanggung jawabkan.
Meski dari ndeso ia telah membuahkan karya monumental yakni karya yang slalu dikenang yang melekat atara karya dan penyairnya meskipun salah satunya yang disebut. Sebagai cotoh, misalnya ketika memyebut 'Kerawang-Bekasi, maka serta merta orang membayangkan pengarangnya Chairil Anwar. Atau menyebut 'Gadis Peminta-minta langsung orang mengingat Toto Sudarto Bachtiar.
Menyisir penyair ndeso yang menasional di seluruh nusatara ini tidak begitu mudah, tentu saja ada yang terlewatkan. Kita mulai dari Aceh tempat kelahiran penyair Lesik Keti Ara (LK Ara), seoranf pelopor penyair Aceh. Mereka adalah Sulaiman Juned ,Soerya Darma Isman, Moritza Thaher, Udin Pelor, Muhrain, Herman RN, Rahmi Soraya ,ZulKirbi. Sumut M Raudah Jambak.
Sedang di Sumatera Utara sebagai tempat banyak sastrawan nasional terkenal seperti Amir Hamzah, Amal Hamzah, Sanusi Pane, Armijn Pane, Bokor Hutasuhud, Hamsad Rangkuti kita dapat menyebut beberapa nama seperti : penyair Anwar bayu Putra yang terkenal berkat Ritus Pisau.
Anwar Bayu Putra
Dari Riau dan kepulauan Riau banyak sekali penyair populair saat ini, bahkan yang 'ter sulit dibedakan, tetapi ada yang bertegger papan atas seperti Sastra Riau, dan Idrus Tintin, Peraih Bintang Budaya Parama Dharma 2011 ini dikenal sebagai pembaharu seni teater Melayu khususnya di Riau. Dalam berkarya, ia sanggup menjadikan hal-hal yang tragedik menjadi komedik, disamping itu banyak lagi yang mulai bersinar terang.Sedang penyair tenar lain Hasan Junus telah meninggalkan kita semua.
.Adalah Dimas Arika Mihardja yang terkenal lewat "Sang Guru Sejati ini mampu memotifasi penyair lain di Jambi , sebut misalnya,Em Yogiswara dan Buana K. S yang mulai menjanak namanya. Disamping itu ada Ari Setya Ardhi dan Acep Syahril, penyair terkenal asal Jambi. Jambi kini mulai terlihat deras melahirkan penyair-penyair kondang
.................(bersambung)

Sebuah Pengantar Antologi Sakarepmu



oleh Sosiawan Leak

Sakarepmu (bahasa Jawa) secara harafiah berarti “semaumu”, “sesukamu”, atau dalam terjemahan bebas adalah “suka-suka kamu”, “semau-maumu”. Di masyarakat Jawa kata itu sering digunakan sebagai ending pembicaraan manakala seseorang mendapati logika lawan bicaranya telah tertutup dan tidak bisa diuraikan lebih lanjut. Hal itu misalnya terjadi pada orang tua yang menasehati anaknya namun sang anak terus membantah dan tak mengindahkannya. Maka si orang tua dengan jengkel cenderung akan berujar, “Sakarepmu!”
Sebaliknya kata itu juga acap dipakai oleh seseorang yang menyerahkan suatu urusan secara total, menyeluruh, dan tanpa reserve kepada orang lain, yang dengannya mengindikasikan bahwa orang tersebut tidak lagi bakal cawe-cawe dalam proses penyelesaian urusan tersebut hingga purna. Misal ketika seorang caleg menyerahkan segala urusan kampanye kepada tim sukses yang berani menjamin kemenangan sang caleg dalam suatu even pemilu. Ia akan berkata, “Atur sakarepmu!”
Dalam khasanah pergaulan berlatar budaya Jawa kata sakarepmu paling tidak dilahirkan dari dua situasi psikhologis yang ekstrim dan saling bertentangan. Kata itu bisa lahir lantaran rasa frustasi yang luar biasa, buntu logika, dan tak tahu lagi harus berkata apa, atau sebaliknya dapat terlontar dengan rasa ikhlas yang lunas disertai penyerahan diri dan kepercayaan tanpa batas. Barangkali benar pendapat sebagian ahli yang meyakini bahwa kematangan kebudayaan mampu mengakomodir dua ekstrimitas sistim nilai yang (jika dihadap-hadapkan) cenderung kontradiktif bahkan bertolak belakang. Yakni antara sistim nilai yang membangun demi keutuhan dengan sistim nilai yang bernapsu menghancurkan atas nama kecarutmarutan, antara nilai kelembutan dengan nilai kekerasan, antara yang bijak dengan yang banal, serta yang frustasi dengan yang berserah diri sebagaimana dalam sakarepmu itu.
Sisi lain kehidupan kampung di Jawa juga acap menjadikan paradigma sakarepmu malih rupa kreativitas masyarakat dalam mengolah panganan (snack) dari bahan makanan tertentu namun terus dieksplorasi dari waktu ke waktu. Pola pikir itulah yang telah membuat singkong (pohung, bahasa Jawa) ‘dihajar’ habis-habisan lewat proses pengolahan yang aneh namun berkesinambungan. Di hari pertamanya sang pohung paling hanya akan direbus dengan menambahkan sedikit garam. Namanya pun masih bersahaja; pohung! Namun jika tak habis dimakan, sisa pohung rebus itu tak akan disia-sia bahkan bakal digoreng pada hari kedua dengan menambahkan tumbukan bawang putih dan garam sebagai penyedap rasa. Namanya masih tetap sederhana meski kian mentereng; blanggreng! Pada hari ketiga jika si blanggreng tak habis disantap juga, ia bakal ditumbuk dan diberi bumbu baru berupa gerusan bawang putih campur garam dan sedikit merica lantas diberi nama lebih gagah; gandhamana! (mirip nama patih Kerajaan Hastina jaman pemerintahan Pandu, ayah para Pandawa). Jika pada hari berikutnya pun tak lampus pula, gandhamana akan dicincang-cincang dan dicampur dengan bahan makanan lain (ketela, talus, kacang-kacangan) serta diberi racikan bumbu baru lantas digoreng lagi! Namanya lentho!
Maka tidaklah aneh jika akhirnya kita juga mengenal pisang bukan hanya sebagai buah yang disajikan langsung di meja makan tanpa proses pengolahan. Menganut logika sakarepmu pisang juga bisa digodog, digoreng, dikeripik, disale, atau disale sekaligus diproses sebagai manisan (sale basah). Uniknya, konsekwensi logis yang mengikuti proses pengolahan secara sakarepmu itu menuntut orang untuk paham berbagai jenis pisang sesuai karakter rasa dan kemanfaatannya. Hingga belakangan dikonangi hanya pisang kepoklah yang kelezatannya bakal menyempurna manakala digodog atau digoreng. Demikian pula butuh pemahaman atas jenis pisang lainnya yang akan lebih nikmat jika diolah dengan cara tertentu. Sementara untuk pisang yang disajikan langsung pun telah dikenali pula rasa khas dan kegunaannya (pisang susu paling tepat sebagai pencuci mulut, pisang ambon paling sesuai bagi pencernaan bayi sekaligus penopang gizi manakala ia bakal disapih dari air susu ibunya, dan lain-lain). Jadi beda jenis pisang berbeda pula perlakuannya. Intinya pisang boleh diperlakukan semau-maunya meski belakangan muncul prasarat-prasarat tertentu yang tak lagi sekedar sakarepmu!
Demikian pula yang terjadi pada makanan khas Indonesia semacam tempe yang boleh dimasak menjadi tempe goreng, tempe bacem, tempe mendoan, atau tempe keripik. Bahkan luar biasanya tempe bosok (busuk) pun diperlukan keberadaannya untuk dimanfaatkan sebagai bumbu penyedap rasa. Semuanya sakarepmu, tergantung proses pengolahan dan itikad peruntukannya.
Pola pikir sakarepmu pula yang barangkali melahirkan sayur berjuluk bledhi di beberapa kampung di Jawa. Ia adalah sejenis sayur campuran (dari aneka sayur matang) yang melalui proses panjang lantaran dimasak dan didaur ulang berkali-kali setelah selama beberapa hari tak habis disantap dan selalu dihangatkan agar tak basi. Bledhi adalah semisal sisa oseng-oseng (sayur dominan pedas) di hari Senin, yang dicampur dengan sisa tomis kangkung (sayur dominan manis) di hari Selasa, ditambah sisa jangan gori (sayur nangka muda yang dominan gurih), serta sisa-sisa sayur aneka rasa lain di hari berikutnya, lantas dituang dalam satu panci dan dimasak ulang ditambah bumbu dapur sesuai selera ‘si koki’. Bledhi adalah sayur berbahan ala kadarnya sebagai representasi masyarakat kelas rendah yang memilih gemi (hemat), setiti (senantiasa merumat apa yang telah dimiliki) secara sakarepmu di tengah gempuran modernitas yang hedonis serta kemajuan jaman yang prakmatis.
Apakah dengan latar belakang dan konsepsi sakarepmu semacam itu buku Sekumpulan Puisi SAKAREPMU; 100 Penyair Mbeling Indonesia ini diterbitkan? Apakah antologi ini tidak sekedar mengulangi gejala yang pernah ada dalam sejarah kesusastraan Indonesia?
Agus Warsono (Penyair Indramayu) yang memelopori (sekaligus mendanai) penerbitan buku antologi puisi ini menuliskan sikapnya sebagai berikut. “Sebuah antologi sebagai sekumpulan puisi yang tanggap akan perilaku sakarepmu dewasa ini, sehingga membuat 100 penyair mbeling berbuat sakarepnya dalam memotret perkembangan Indonesia dewasa ini. Menutup tahun 2015 sebagai tahun-tahun pancaroba negeri, puisi-puisi sakarepmu akan mewarnai khasanah sastra Indonesia”. Lebih lanjut menyoal genre puisi yang dia bidik, penggagas dan motor penerbitan Lumbung Puisi Sastrawan Indonesia Jilid 1, 2, dan 3 (2013, 2014, dan 2015) itu tidak memberi acuan khusus tentang model puisi sakarepmu sebagai rujukan konsep puitika maupun latar belakang penciptaan karya. Dia hanya menuliskan, ”Naskah bebas genre, tetapi tidak menunjukan unsur menyinggung pertentangan agama, ras, golongan, suku, serta unsur hujatan pada pribadi/ lembaga. Pendek kata kesemuanya harus masuk dalam koridor Pancasila dan UUD 1945”.
Sebelumnya dalam khasanah sastra Indonesia, meski dengan latar belakang dan konsep eksplorasi yang berbeda-beda paradigma semacam sakarepmu tersebut pernah melahirkan sejumlah gejala anti kemapanan di ranah puitika. Hal itu tergambar lewat gerakan ‘Puisi Mbeling’nya Remy Sylado (tahun 1970-an), penerbitan buku dan pentas keliling ‘Puisi Humor’nya Jose Rizal Manua (tahun 1989), gejala ‘Puisi Balsem’nya Mustofa Bisri (tahun 1991), serta penerbitan sejumlah buku puisi (Kentut tahun 2006, Selingkuh tahun 2008, Ijab Kibul tahun 2013, dan lain-lain) karya Slamet Widodo yang belakangan disebut sebagai ‘Puisi Glenyengan’.
Membaca karya-karya dalam buku ini kita bakal menemukan ‘rambu-rambu’ ke mana ‘Puisi Sakarepmu’ akan menuju. Semoga begitu!

Sosiawan Leak, penyair , budayawan tinggal di Solo