Kamis, 28 Mei 2015

DARI CINTA HATI, TERLIBAT DAN MAWAS DIRI Oleh Sosiawan Leak



Ragam Cinta
Tema cinta, utamanya kepada sang kekasih adalah tema yang usianya setua sejarah manusia. Lebih tua usianya dari laku pertikaian dan pembunuhan yang belakangan mewarnai peradaban. Namun sadarkah kita bahwa laku permusuhan dan pembunuhan yang berperangkat kekerasan fisik, pada awalnya lahir tersebab oleh suatu alasan yang disebut cinta?
Atas nama cintalah tragedi pertikaian antara Kabil dan Habil terjadi. Pertikaian yang dilakukan untuk menjadi penanda pembelaan manusia terhadap apa yang dinamakan cinta. Mengalahkan pembelaan mereka (manusia Kabil dan Habil) kepada aturan hidup bersama (norma perjodohan yang difatwakan Adam kala itu).  Atas nama cinta pula kasus pembunuhan yang merampas nyawa seorang anak manusia dilakukan oleh manusia lainnya, menciderai peradaban, mencoreng makna cinta kepada sesama.
Meski begitu, selalu saja tema cinta senantiasa berkembang dan menghiasi sejarah kehidupan dengan beragam latar, gagasan dan pernak-pernik masalah yang menyertainya. Tiliklah kisah cinta yang dengan berani tak sudi takluk menghamba pada kekuatan penentang baik yang berasal dari kuasa keluarga, adat masyarakat mau pun aturan negara. Sebagaimana terkisah dalam Romeo dan Juliet --dibuat berdasar cerita dari Italia-- yang ditulis William Shakespeare tahun 1591 hingga 1595. Atau kisah percintaan dari kesusastraan Cina Klasik, Sampek Engtay yang populer di Indonesia sejak abad ke-19. Pun kisah sebagaimana dilakoni Raja Inggris Henry VIII yang demi membela cintanya kepada Anne Boleyn rela mengabaikan kekuasaan Paus pada tahun 1534.
Ada pula cerita cinta yang menjadi bagian dari kolaborasi kekuasaan dan kekuatan demi mempertahankan tahta sebagaimana yang ditebarkan Cleopatara kepada para pemuja cintanya (Julius Caesar dan Mark Antony) pada jaman Mesir kuno, di samping sejarah cinta yang dijebak menjadi perangkat intrik politik lantaran nafsu ekspansif yang mendahului tergelarnya Perang Bubad di Majapahit abad ke-14.
Telah pernah pula tema cinta digarap dengan cara menyentuh kalbu lantaran kepasrahan mengharu biru tersebab kekalahan dan kegagalan menghadapinya sebagaimana Sayap-sayap Patah-nya Kahlil Ghibran. Kisah kegagalan cinta yang menyebabkan keterpurukan luar biasa, sekaligus memendarkan nilai-nilai keindahan lewat makna kesejatianya. Makna yang meski semula bernilai pribadi, namun mampu menginspirasi semua orang bahwa cinta suci senantiasa berdekatan dengan hakekat keindahan. Keindahan yang terbukti bisa dilahirkan dari rahim mana pun termasuk dari garba yang bernama siksa dan tragedi pemujanya.
Kisah cinta juga bisa bermula dari siasat-siasat kecil para manusia angkuh yang akhirnya mempertemukan mereka dalam suatu perjumpaan indah. Sebagaimana dalam Lakon Pagi Bening karya Serafin dan Joaquin Alvarez Quintero. Ia juga dapat lahir dari pertentangan yang sengit dan menjengkelkan dari alur cerita seunik The Boor karya Anton Chekhov. Pendek kata, beraneka cara dan pendekatan orang merangkai tema cinta menuju presentasi hakekat yang hendak di sampaikannya.

Aksara Hati
Agus Warsono lewat Antologi Puisi Bunyikan Aksara Hatimu tak hendak ketinggalan mengupas tema cinta lewat beberapa puisinya. Ia acap menyerap sari pati tragedi yang terjadi lantaran cinta, menjadi modal dalam karya puisinya. Sesekali ia merumat getaran duka yang merembes dalam nyeri alur pikiran dan perasaannya lantaran berhadapan dengan cinta.
Namun, tak sebagaimana kebanyakan kreator yang acap tergoda untuk melatari kisah- cintanya dengan idium keindahan alam, Agus tidaklah demikian. Meski pada puisi yang mengeksplorasi pemandangan alam terbukti ia mampu memanfaatkan dengan baik, namun itu tak serta merta dilakukannya saat meramu puisi-puisi cintanya (sebagaimana orang yang tengah merasakan pendar-pendar cinta dalam fase apa pun; entah kepahitan, kegetiran atau fase kebahagiaan).
Agus justru menandai presentasi kisah cintanya dengan latar stasiun kereta, peron berikut alam benda yang ada di sana. Semua idium yang ada di wilayah kesibukan stasiun serta peristiwa yang terjadi dalam alur pulang dan pergi dengan sarana transportasi itu dimanfaatkannya. Menjelma alasan bagi pembaca untuk tersentuh dengan trenyuh.
Mulai dari diksi normatif serupa peron, kereta, jadwal keberangkatan dan persimpangan kereta, hingga soal tiket, dan pengeras suara. Semua ditarik ke suasana duka yang berkontemplasi pada kesunyian getaran cintanya kala itu. Bahkan termasuk potret kesibukan yang dalam sangkaan dan pengalaman kita senantiasa ricuh, riuh rendah dan cenderung chaos  -- aktivitas para pengasong dan para penghamba kriminal-- di sana. Semua berhasil ditarik ke wilayah pribadi menjadi bahasa jiwa yang mengantarkan kegetiran saat mengabarkan cinta.
Idium alam yang pada kecenderungan umum paling gampang dimanfaatkan untuk membeberkan nuansa cinta pun berhasil dia direct. Meski –menggembirakannya-- tak banyak ia melakukan hal itu. Tercatat hanya mega dan hujan yang sudi diambilnya sekedar untuk menekankan tragedi cintanya di Bunyikan Aksara Hatimu. Selebihnya ia percayakan semua penanda, getar dan alur kisah cinta yang merembes ke suasana hatinya lewat peron, asong, kereta, karcis, copet, corong stasiun, lampu, karcis kereta. Namun toh tetap saja kesunyian juga yang tergambar dalam baris puisinya .../ kau diam menutup jiwa bergolak/ .... hingga tetap saja ia saksikan .../ gigi menggigit bibir kecil/ .... yang senantiasa mendatangkan hal yang tak dinginkan .../ menahan bunyi aksara hatimu./
Pada puisi cinta yang lain, benda-benda berkeindahan alami secara minimalis (hanya simbol bunga dan kulit jeruk). Itu pun ia lakukan tanpa keinginan untuk berlama-lama mengeksplorasi atau memujanya dengan cara membabi buta. Ia menyadari bahwa meski indah, namun anggrek berusia sangat singkat. Maka sesingkat usia bunga itu ia meramu puisinya hanya dalam sebait (dengan 7 baris berkarakter pendek). Lantas ia komparasikan dengan kata kunci verbal kawin yang cenderung melawan puitika anggrek: .../ ingin aku kawin denganmu./ (Anggrek Pujaan)
Hal itu pun sengaja dilakukannya dalam puisi Kenanga lewat diksi terbuka, langsung dan sederhana –tergoda-- di baris-baris akhir puisi pendeknya: .../ aku tergoda/ akan lambaian mahkota kembangmu biru./ (Kenanga).
Keberpihakan Agus untuk mengemukakan pinangan cintanya dengan cara bersahaja paling nampak saat ia menyodorkan idium kulit jeruk. Itulah hal utama yang menggejala menjadi semacam ideologinya dalam bercinta. Ideologi yang sederhana namun esensial fungsi dan maknanya. Bahwa barang yang dipersembahkannya .../ bukan mahal/ bukan terbaik/ rupa bentuknya/... tetapi ia nyatakan dengan keyakinan bahwa barang itu .../ tak ada di pasar minggon/ .... Ia pastikan pula bahwa barang persembahannya itu .../ dipandang tak bosan/ segar menawan/ sekeping mungkin kurang/ .... Hingga sesederhana apa pun wujud persembahannya pada cinta, namun sebagaimana hakekat cinta .../ semoga terawatt/ abadi/ (Anggrek Pujaan).
Selain mengambil idium alam benda semacam itu, Agus juga mencoba memakai idium peristiwa atau hal-hal terkait suasana lainnya (Catatan Kecil, Pertemuan, Layang-layang Cinta). Semuanya dengan kecenderungan penulisan sebait lewat baris-baris puisi yang pendek dan diksi yang relatif bersahaja. Kecuali pada Kepada Kasihku…… yang sepanjang 2 bait, namun terasa mengalir secara sistematik dalam nuansa puitik.

Berpihak Terlibat
Pernahkah kita membayangkan dan merasakan terjebak dalam situasi dan kondisi yang dilematis? Bagaimana sikap kita jika posisi dilematis itu adalah hal yang saling bertolak belakang antara keyakinan (hati dan pikiran) dengan kewajiban (tuntutan tak terhindarkan) yang harus kita lakoni lantaran kadung menyetujui kesepakatannya?
Agus menggambarkan secara halus dan apik keterbelahan antara gagasan utama menyoal fungsi negara --yang mestinya merangkum dan menali semua kepentingan anak bangsa di mana pun berada; termasuk Aceh-- dengan konteks situasi saat itu. Situasi yang melahirkan konflik antara aparatur negara dengan warga sipil di Aceh --yang diposisikan sebagai kaum sparatis, pelaku tindakan subversif (saat berlakunya Daerah Operasi Militer 1990-1998). Agus juga berhasil memotret secara manusiawi tentang petugas negara (polisi) yang punya rasa gamang, takut, dan khawatir. Seorang aparat yang juga manusia dengan kebutuhan berinteraksi secara sederajat dan sejajar dengan warga negara lainnya. Latar belakang munculnya konflik ideologis di sana juga dikemasnya dengan baris pendek yang tepat di awal sajak ini..../ Ku terjaga/ betapa pendahulu negeri pandai mengikat tali / yang kini i menggeliat/... (Selembar Peta Aceh).
Ia pun mengungkap betapa konflik yang berlangsung bagai api dalam sekam itu senantiasa menyisakan ketidakpastian bagi keselamatan para aparat keamanan (kepolisian, aparatur). Mereka tak pernah mendapat jaminan penuh, baik dari pihak kesatuan, komandan atau negara, selain bertopang pada sikap dan pembawaan mereka sebagai manusia mandiri. Manusa yang di mana pun tergantung karakter dan pola interaksnya. Cara pandang dan pola ucap semacam itulah  yang pada gilirannya mempertemukan Agus dengan diksi bernas (yang rendah hati, manusiawi dan masuk akal) sebanding dengan ungkapan “tugas negara” atau “bela negara”: .../ ibu pertiwi sedang lara/ ia menyuruhku duduk di sampingnya/ ...
Diksi yang menyiratkan kebersahajaan, tak arogan, tidak berlebihan, dan manusiawi, serta memosisikan Aceh sebagai sesama anak pertiwi di antara anak-anaknya yang lain di Nusantara. Diksi yang menyadarkan kepada kita bahwa tidak ada yang lebih tinggi dan lebih rendah di antara warga negara dan anak bangsa, di mana pun ia dan dari mana pun berasal. Maka, tidak ada alasan untuk bertindak arogan dan adikuasa dari para aparatur negara kepada rakyat jelata. Pun sebaliknya, tak akan lahir anarkhisme yang bakal berkembang dalam kerumunan masa saat warga memprotes kebijakan negara.
Kelancaran Agus mengolah tema-tema sosial yang besar --menyoal nasionalisme dan persoalan negara-- didukung oleh fakta realis yang menyentuh hati yang lantas diolahnya dengan memanfaatkan pola ungkap metafora berdasarkan karakter dan sifat dasar manusia (nampak kuat dalam Menggendong Timtim). Ia mampu menyodorkan gambaran sikap dan perilaku manusiawi lewat pola hubungan seorang anak dengan ibunya, sebagaimana hubungan antara pusat pemerintahan (Indonesia) dengan daerah (Timtim) .../ orok menetek emaknya/ .../ digendong dibelakang punggung/.
Pola linear yang wajar terjadi dalam proses hubungan ibu dan anak. Sejak usia bayi, di gendongan, hingga masa bermain dan belajar kepada kehidupan lewat lingkungan manusia dan alam. Suatu gambaran yang membuat kita tenang membacanya. Tidak sebagaimana yang senyatanya terjadi di Timtim kala itu; fakta memilukan lantaran terjadinya huru-hara sistemik, pergerakan pengungsi, dan berbagai tragedi kemanusiaan berikut kasus-kasus pelanggaran HAM yang menyisakan luka sejarah panjang.
Apa yang ditawarkan Agus mestinya menjadi sudut pandang negara saat itu. Sudut pandang bahasa damai dengan sentuhan kata meneduhkan serta penerimaan ikhlas hati atas pilihan Timtim lepas dari Indonesia. Sebagai konsekwensi logis Indonesia sebagai ibu yang cepat atau lambat mesti merelakan Timtim anaknya, beranjak pintar dan dewasa. Serta berpisah dan lepas dari tanggung jawabnya (menyusul referendum yang digelar di sana 30 Agustus 1999) .../ sudah waktunya orok disapih/ bermain kereta dorong agar belajar/ berjalan berguru alam/.
Apalagi itu semua bukan tanpa sebab dan alasan yang kuat. Kita tengah berada dalam situasi reformasi yang menyisakan badai resesi dari gelombang ekonomi dunia yang memberatkan kondisi negara. Dengan merelakan sang anak, maka.../ dan si ibu kembali sehat./.
Pola ujaran deskriptif yang melacak berbagai situasi realis lantas diburu padanannya lewat “logika umpama” serta gaya metafora yang pas dan menyentuh juga dilakukan Agus pada Si Bung Menangis, dan Lagu dari Timur. Sementara pada puisinya yang lain ia pilihkan gaya berujar yang singkat, bermakna pekat, serta dibungkus dengan simbol yang lebih populer, gampang dipahami dan dicerna. Ia tetap memanfaatkan bahasa verbal dan terbuka, lantas memperkuat proses perbandingan antara yang terkatakan dengan makna yang terselip dan hendak dijadikan obyek perenungan (Kuasa, Tikus Kucing, dan Sepatu).
Tema sosial lain yang menjadi kegemaran Agus adalah yang persoalan kampung dan nasib masyarakat marginal. Meski ia juga menggarap tema soal isu perkotaan dan tokoh tertentu, namun identifikasinya atas karakter kampung yang renyah dan riuh rendah, berikut prahara derita kaum papa (Dari Tetangga Kita, Tarling, Malam Ini Lewat Juga Becak, Kisah Penjual Srabi, Cerita Anak Gembala) lebih fasih dan mengena dalam bidikannya (katimbang Hari Itu, Trotoar Kita dan Manusia Baru). Itu menunjukkan bahwa Agus memang lebih memiliki pemahaman yang sahih terhadap kasus-kasus yang bertebaran di kalangan masyarakat bawah. Kasus-kasus yang bisa jadi merupakan santapan hidup dalam pergaulan dan pengalamannya sehari-hari. Tak menutup kemungkinan pula bahwa itu merupakan salah satu kecenderungannya –atau bahkan keberpihakannya-- kepada nasib masyarakat grass root yang senantiasa kalah dari jaman ke jaman. Relevan dengan pembelaan dan keberpihakan yang dilakukan oleh para tokoh tertentu yang ia tulis dalam puisinya. Tokoh-tokoh semacam Marsinah dan Mahasiswa yang sudah pasti juga pembela kepentingan masyarakat arus bawah. Kedua jenis puisi itu di satu sisi, serta Agus di sisi lainnya adalah dua sisi yang berasal dari ranah berbeda namun dipersatukan oleh keberpihakan yang sama.
Itu yang akhirnya memberi simpulan, bahwa dalam menuls puisi sosial dari mana pun sudut pandang dan referensinya bermula, Agus cenderung tidak ingin memisahkan diri dengan obyeknya. Ia senantiasa mencoba lekat dan terlibat secara emosional dengan masalah yang menjadi bidikan puisinya. Ia ingin selalu terlibat di dalamnya. Keberpihakan dan keterlibatan itu pula yang menjadi sudut pandangnya menuliskan sajak-sajak tentang alam dan lingkungan hidup. Itulah kenapa mesti tak banyak puisi bertema semacam itu di buku ini, namun kenangan kita tentang Gunung Perdido (berarti “Dunia yang Hilang”) tak bakal gampang dihapus dari ingatan. Perdido yang terletak antara Baukau dan Vikeke di Kabupaten Viqueque. Perdido yang berketinggan 1.760 m dengan keindahan yang seolah memunculkan daya khayal di samping memancarkan harapan hidup.
Tak pernah kehilangan akal untuk menginformaskan kemegahan gunung itu dengan komunikatif dan gampang, Agus mengambil ukuran Krakatau yang –kepopulerannya-- akan mempermudah pembaca mencerna detilnya. Bayangan suasana gunung itu juga dia tiupkan lewat bangau yang beterbangan ke pulau di sekitarnya. Juga kokok bekisar yang dalam penangkapan imajinasi kita mestilah ramai dan bersahut-sahutan lantaran diksi “festival” yang digunakan untuk menggambarkan suasana sekumpulan unggas itu.
Aneka data dan informasi yang menunjukkan kedekatannya dengan sang gunung dia sempurnakan pada akhir puisi lewat statemen bahwa sang gunung yang gagah itu tengah terluka, tengah tak mau didaki (seolah Aguslah Perdido itu kini).
Keterlibatan semacam itu pula yang membuat posisinya sangat dekat, nyaris tak terpisahkan antara dirinya dengan gambaran kehidupan alam di desanya (SelayangPandang Tentang Desaku). Meski memakai diksi “selayang pandang”, namun nyatanya ia justru bercerita dengan fasih seluruh lekuk-liku tubuh dan kehidupan desanya. Segala peristiwa, penanda dan keindahan kehidupan dikupas dengan lengkap meski secara ringkas. Termasuk soal emosi kerinduan jika jauh dari desanya --suasana yang diperkuatnya dengan memanfaatkan sosok “ibu” dan “bapak”, selain lewat idium alam dan kehidupan keseharian di sana.
Keterlibatan itu pula yang membuat Agus menuliskan Tawangmangu dan Celoteh Pipit dengan satire dan getir. Keterlibatan dan keberpihakan untuk tidak memperlakukan alam berikut unsur kehidupan hanya sebagai obyek atau pelengkap penderita bagi kepuasan manusia semata. Keterlibatan dan keberpihakan yang mesti memposisikannya sebagai mitra manusia dan makhluk hidup lainnya dalam membangun kehidupan yang berkeseimbangan dan berkelanjutan: .../ celoteh pipit mengisi angin/ menghias cakrawala./(Celoteh Pipit).

Bingkai Renungan
Menaruh pesan penting lewat “sesuatu” yang sederhana dengan memanfaatkan karakter khas dari “sesuatu” itu untuk menggiring makna pesan yang diinginkan, bukanlah sebuah upaya yang sederhana. Apalagi jika pesan penting itu terkait dengan nilai dan filososi kehidupan yang kompleks serta butuh pemahaman mendalam. Semisal soal pentingnya menghargai waktu yang --jika kita luput memperhatikannya-- senantiasa melesat kilat. Atau soal jalan kehidupan yang bagi setiap manusia tak sama lempang dan kelokannya, gelap dan terangnya. Namun toh dengan ujaran yang sederhana serta lewat idium yang telah lazim dipakai, Agus tetap berupaya menitipkan kerumitan “waktu” dan “jalan kehidupan” itu (dalam Tahun Baru dan Lentera).
Memang dua karya puisi itu belum cukup mewakili kepiawaiannya dalam mengekspresikan gagasan sesuai dengan ciri dan karakter khasnya yang mempribadi. Pun termasuk saat ia mengungkap pesan si Beringin yang menjadi saksi beragam alur dan kisah hidup manusia dari berbagai latar belakang. Atau saat ia meminjam Padi yang lewat perspektif filosofinya adalah “pahlawan” yang selalu dihajar dan disakiti berkali-kali sepanjang siklus hayatnya. Meski Agus mampu melentingkan diksi “musyawarah” di tengah jejeran kata dan baris hingga melahirkan nuansa baru yang menarik, namun puisi-puisinya yang memanfaatkan idium buah-buahan, sayuran serta hasil bumi tetaplah terasa lebih renyah dan paling menggiring makna dengan lugas dan sahaja. Utamanya pada Lombok dan Singkong.
.../ ah engkau pandai bergaul/ .../ dan marah jika aku sedikit mengganggu/ (Lombok).
.../ dalam tanah berisi harta karun/ batang yang menjanjikan masa depan/ ... (Singkong).
Pada Bingkai, keberhasilan Agus mengemuka lewat kelincahannya mempermainkan posisi dan fungsi bingkai itu dari silang sengkarut makna para kata yang saling kontradiktif dan berhadap-hadapan secara terbuka. Sehingga suasana jiwa dan pikiran yang terombang-ambing, bahkan tertarik ke beberapa arah yang berseberangan akan memenuhi benak dan rasa kita manakala membaca karya itu. .../ disingkirkan tak pantas/ dipakai tak bernilai/ .../ bila naik, ikut naik, turun tetap menekan/... (Bingkai).
Menarik pula untuk diresapi adalah perenungan yang ia tawarkan lewat narasi Juru Mudi. Menyimak karya ini sejak awal hingga separo bait, kita seolah hanya diajak untuk melayari cerita nyata dalam pola ungkap yang apa adanya. Namun separo belakangan hingga ke ujung puisi suasana ternyata malih rupa perenungan yang dalam dan mencekam, bernuansa sepi dan ngungun pada kontemplasi menyoal hakekat kesendirian.
.../ haruskah aku memegang kemudi/ memandang mersusuar semakin jauh/ menghilang./ (Juru Mudi).
Dengan pola ungkap yang sederhana, segala hal baik yang berujud alam benda, rangkaian peristiwa, alur  pemikiran, serta beragam laku tindakan, dimuati perenungan penting dan mendasar untuk menghadapi kehidupan yang kompleks dan leluasa. Itulah yang nampaknya ingin dikabarkan Agus lewat puisi-puisi kontemplasinya. Puisi-puisi yang berangkat dari kesederhanaan idium, kesederhanaan diksi, namun mengemban tugas berat menyoal renungan atas hidup dan hakekat kehidupan. Kehidupan yang harus terus diisi dengan perbuatan. Perbuatan yang dilakoni usai melewati proses perenungan hingga mencapai sikap dan niatan tepat. Niatan yang pada bagian ujung terepresentasikan pengejawantahannya dalam laku perbuatan. .../ Berbuat agar kita menambah isi hidup kita/ .../ mulailah dengan berbuat hal kecil/ .../ karena itu Mari berbuat./ .../ semua harus tak ada kata terlambat./... (Berbuat).
Agus juga nampak memakai pendekatan yang sama saat menjelaskan berbagai kerumitan yang menyelip di lautan emosinya. Beraneka kecipak batin dan suasana jiwa yang barangkali akan tetap terasa rumit meski dijelaskan dengan kata sebanyak apa pun, ia sederhanakan lewat perspekstif laku sehari-hari. Perspektif yang menyajikan peristiwa ringan namun jika diperam intinya bakal merujuk pada makna suasana batin yang dibidiknya. Itulah kenapa penting dalam proses penafsiran puisi-puisi tersebut mencermati sejumlah kata yang menjadi penanda dan rambu-rambu yang mengarah kepada terbentuknya makna. Misalnya, ia menaruh beberapa kata kunci  menanti, memanggil, pergi dan kembali, untuk membantu alur terjemahan dari suasana harapan (Harap). Ia mengusung jendela kaca, jari, duri, betis, luka, belang untuk merunut makna harapan kepada masa depan --dari masa lalu—(Asa).
Begitu pun yang terjadi dalam puisi-puisi yang mendudah kegelisahan wilayah batinnya yang lain (Semangat, Teka-teki, Goda). Selalu ada serangkaian kata kunci yang mengarahkan kita kepada terbukanya makna batin yang semula serasa kabur, rumit atau terselip.

Mawas Diri
Sebagaimana saat menulis keberpihakannya terhadap masyarakat bawah yang kadang ia pinjam untuk menyuarakan gagasan pribadinya,  atau saat ia tiba-tiba mengintervensi obyek tulisannya sebagai subyek (dirinya sendiri) --yang oleh karenya bebas mengeluarkan statemen dan ukuran nilai moral, pesan dan gagasan-- pada puisi bertema proses  kreatif kepenyairan pun (Penyair dan Penyair Muda) nampak pola pendekatan yang demikian. Pendekatan ketidakterpisahan antara dirinya dengan apa yang ditulisnya. Demikian pula pada saat ia menguraikan kekagumannya pada W. S. Rendra. Semua seolah sengaja menjadi pijakan gagasan, konsep, dan kredo kepenyairannya secara kreatif.
Maka tidaklah mengherankan jika keterlibatan yang teramat dekat dengan obyek penulisan dan sudut pandangnya itu membutuhkan informasi menyoal siapa dan bagaimanakah Agus yang sebenarnya. Bagaimanakah pandangan hidup, karakter dan pemahamannya menyoal hidup dan kehidupan. Itulah yang secara sederhana memberi alasan kuat padanya untuk menampangkan sajak tentang dirinya. Ada semacam pembocoran terhadap hal mendasar soal dirinya secara harafiah, dengan cara verbal dan terbuka: .../ mereka tahu diriku :/ cinta, pengertian , solidaritas, persaudaraan, satu faham, seperjuangan/ (Tertipu). Namun juga perlu diungkap hal-hal yang rendah hati dan mawas diri: .../ Aku bodoh, Miskin,  buruk rupa, dengan tabiat jelek, egois dan jauh dari rasa sosial./ .../ maafkan bila aku banyak kekurangan,/ ... (Mawas Diri).
Ternyata, sebagai pembaca kita dibekali data menyoal kreator yang memudahkan memahami gagasan, pemikiran dan harapannya tentang tema-tema yang ditulisnya. Hal yang mempermudah penafsiran kita atas karya menurut perspektif prbadi atau hendak meminjam sudut pandang penulisnya. Silahkan,...

berikut puisi karya Rg Bagus Warsono yang berjudul

Bunyikan Aksara Hatimu

Lama menunggu di peron tawaran asong tiada
henti
kereta lewat bukan tujuan
karcis kupegang basah ditelapak
sileweran copet bodoh
reka kantong penuh dollar
corong stasiun Jogya kereta terakhir akan tiba
dan lampu tembak menerpa wajah duka
memutih
kau diam menutup jiwa bergolak
tebal kaca bola mata
kereta makin dekat kerikil gemeretak.
Getar badan kurus
hati tersayat iba
bilakah kereta barang yang tiba
menambah kalender karcis kereta
agar masih bersua
mega menggeser pura-pura
menambah deras hujan semata
mengapa rekat masih tebal
gigi menggigit bibir kecil
menahan bunyi aksara hatimu.

Indramayu, 13 Oktober 2000






Solo, 24 Agustus 2013

Kamis, 07 Mei 2015

Reformasi jadi Menjadi-jadi

Reformasi jadi menjadi-jadi dalam tampa perubahan yang lebih baik bahkan justru parah. Terutama dalam hal korupsi, kolusi dan nepotisme dikalangan birokrasi bahkan peradilan. Rg Bagus Warsono penyair asal Indramayu Rg Bagus Warsono memotret reformasi ini menjadi puisi-puisi yang menggigit dan membumi.
   Diantara puisi-puisi Rg Bagus warsono itu seperti Tangkap Aku Walau di Sangkarmu, dan Potong Jari Manisku Saja. Karya tersebut tlah mendapat sambutan masyarakat luar biasa dan menjadi trend bacaan puisi kalangan mahasiswa dan pelajar se Tanah Air.
   Berikut puisi yang ditulis Rg Bagus Warsono ini sebagai berikut :

Potong Jari Manisku Saja
Boleh di dua tanganku
dan sayur sup beraroma khas nusantara
kupersembahkan untuk tuan mulia
dengan pernyataan bermaterai sejuta
karna yang enamribu masih bisa ditipu
dan aku hadirkan seratus saksi biksu
karna saksi berni kalau seratusjuta
Tuan tak ada algojo muntilasi
tembak mati berarti menunggu
hukum mati berarti menunggu taubat
dikurung berari bersembunyi
banding berari menambah rezeki
boleh di dua tanganku
dengan mangkuk kuah kaldu
Potong jari manisku saja
tanpa publikasi
karena semua yakin untuk tulang sup negeri
dan ada cctv sebagai saksi tadi malam
yang tiada gambar karena petang
gelap warna meski baterai baru
yang terlihat hanya darah
menghitam menutupi semua layar
menimbulkan keyakinan hakim
tak pengaruh bila tiada jari manis
kalian bebas tanpa syarat…………………………
Potong jari manisku saja katanya.
Indramayu, 23 Oktober 2013

LUMBUNG & PACEKLIK PUISI



LUMBUNG & PACEKLIK PUISI
Sosiawan Leak

Setelah gagal pada serangan pertama (tahun 1628), Sultan Agung
kembali nekad hendak menaklukkan rejim kolonial dengan
cara menyerang jantung pemerintahan VOC di Batavia setahun
berikutnya. Jika pada serangan pertama raja termashur Mataram
(berkuasa tahun
1613
hingga
1645
) itu mengerahkan 10.000
prajurit, maka pada serangan ke dua –belajar dari kekalahannya
yang lampau— ia juga melancarkan strategi pertempuran berbeda,
di samping mengirimkan pasukan dalam jumlah yang lebih banyak
(14.000 tentara).
Ia memerintahkan bala tentaranya untuk membendung dan
mengobok-obok
Kali Ciliwung
hingga menyebabkan timbulnya
wabah
kolera
di Batavia. Belakangan bahkan
Gubernur Jenderal
VOC
,
J.P. Coen
pun meninggal lantaran menjadi korban keganasan
wabah penyakit tersebut. Selain membendung kali, raja bergelar
Sultan Agung Adi Prabu Hanyakrakusumu yang sebelumnya sempat
menaklukkan Surabaya dan Banten itu juga melengkapi dukungan
logistik bagi pasukannya dengan mendirikan lumbung-lumbung
padi di jalur pergerakan yang mereka lewati (sekitar Karawang dan
Cirebon).
Sayang, strateginya menyoal lumbung tersebut telah terlebih
dahulu bocor ke spionase musuh. Hingga dengan gampang VOC
berhasil membakar lumbung-lumbung penopang kehidupan
prajurit Mataran yang tengah nglurug sejauh 550-an kilometer dari
baraknya itu.
Dalam situasi normal, lumbung biasa digunakan oleh masyarakat
pedesaan jaman dulu guna menyimpan padi hasil panenan. Padi
itulah yang sebagian besar dikonsumsi untuk memenuhi kebutuhan
hidup sehari-hari, serta sebagian kecil lainnya –yang dianggap
berkualitas—dipergunakan sebagai bibit saat masa tanam
berikutnya. Sejumlah komunitas masyarakat di Jawa bahkan ada
yang mengaitkan keberadaan lumbung dengan mitos mengenai
danyang kesuburan semacam Dewi Sri misalnya. Itulah kenapa
bangunan lumbung pada jaman dulu cenderung dirancang secara
khusus –biasanya menyerupai rumah panggung-- di samping untuk
menjaga padi yang tersimpan di dalamnya tetap dalam kondisi
prima juga menghindarkan mereka dari amuk tikus dan gangguan
hewan penjarah padi lainnya.
Secara filosofis penamaan (3 kali) penerbitan buku puisi LPSI
(Lumbung Puisi Sastrawan Indonesia) barangkali hendak merujuk
maknanya ke ranah tersebut. Puisi-puisi yang tersimpan di
dalamnya diharapkan berisi perenungan-perenungan yang dapat
segera dicerna dan diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari.
Di samping sebagian lainnya mungkin merupakan puisi dengan
serangkaian gagasan yang musti ditebar sebagai benih bagi
tumbuhnya bulir-bulir perenungan sastrawi berikutnya. Berbeda
dengan padi di lumbung, sebagaimana laiknya puisi, karya-karya
di buku ini selain mengandung struktur batin tentu juga memiliki
bentuk fisik tersendiri. Tubuh-tubuh puisi yang terangkum di dalam
buku ini tentu juga diproporsikan bakal menyifati keberadaan para
padi manakala mereka ditampung di lumbung. Maka barangkali
kita akan menemukan keanekaragaman wujud dan rupa puitika
yang bisa dicerna oleh sense puitik secara langsung dan sesaat,
atau butuh persemaian lebih lanjut guna membenihkannya.
Persoalan mengenai penggunaan diksi ‘lumbung’ sebagai judul
penerbitan buku ini akan kian menarik --sebab bakal mengungkap
posisinya dalam konstelasi peta sastra-- manakala kita bandingkan

dengan judul-judul penerbitan buku sejenis lainnya. Tengoklah
penerbitan kumpulan karya sastra bersama semacam Senthong,
Tugu, Tongggak, dan Gerbong misalnya.
Dalam Senthong (kumpulan karya sastra berbagai genre dalam
bahasa Jawa dan Indonesia yang diterbitkan berkala oleh Taman
Budaya Jawa Tengah di Surakarta) Wijang Jati Riyanto --inisiator
sekaligus editor-- seolah hendak mengabarkan bahwa karya para
sastrawan yang terangkum di dalamnya merupakan produk kreatif
yang penuh dengan gagasan dan kontemplasi. Hal itu mengingat
dalam khasanah kebudayaan Jawa senthong adalah bagian ruangan
di dalam rumah yang mempunyai fungsi wigati bagi kehidupan
sehari-hari. Dalam arsitektur rumah Jawa dikenal adanya 3
senthong, yakni kiwa (kiri), tengen (kanan), dan tengah. Senthong
kiwa biasa berfungsi untuk menyimpan hasil panen, gerabah, dan
peralatan rumah tangga yang (hanya) digunakan pada saat-saat
tertentu. Senthong tengen dipakai untuk istrirahat (hanya) oleh
pasangan suami isteri pemilik rumah. Sedang Senthong tengah
khusus digunakan tuan rumah untuk bermeditasi, melakukan
hubungan spiritual dengan leluhur dan gusti alah.
Analog dengan proses pemaknaan atas judul-judul penerbitan
tersebut Tugu: Antologi Puisi 32 Penyair Yogya (Dewan Kesenian
Yogyakarta, 1986) dan Tonggak: Antologi Puisi Indonesia Modern
(Gramedia, 1987) yang digawangi Linus Suryadi Agustinus pun
seolah mencoba merumuskan fungsi dan eksistensi penerbitan
itu dalam peta kesusastraan kita. Secara harfiah ‘tugu’ adalah
sebuah
tiang
besar dan tinggi berbahan batu, bata, dan lain-lain
yang biasanya dibuat untuk menjadi penanda, baik mengenai suatu
tempat maupun yang terkait dengan peristiwa penting di masa lalu.
Sedang pengertian ‘tonggak’ biasanya merujuk pada material kayu,
batu, dan lain-lain yang dipasang tegak. Tonggak bisa juga bermakna
sebagai tiang penyangga jembatan, rumah serta bangunan lain,
atau berarti pokok atau asal. Maka sangat mungkin karya para
sastrawan di dalam kedua terbitan itu masing-masing dikonotasikan
bakal mampu menjadi penanda dan penyangga kesusastraan kita.
Demikian pula ‘gerbong’ yang dalam KBBI (Kamus Besar Bahasa
Indonesia) berarti
wagon
kereta
api
(untuk
orang
atau
barang).
Pengertian gerbong yang merujuk pada kemampuannya dimuati
banyak orang berikut barang bawaannya sekaligus ke suatu tujuan
yang sama itu, mendasari terbitnya Gerbong: Antologi Cerpen dan
Puisi Indonesia Modern (Editor M. Haryadi Hadipranoto, Penerbit
Yayasan Cempaka Kencana, tahun 1998).
Akan halnya soal diksi ‘lumbung’ dalam khasanah penerbitan karya
sastra di Indonesia, 4 tahun lalu Agus R. Sardjono sempat membeber
159 nama sastrawan --sebagai judul dalam setiap sajaknya serta
disusun secara alfabetis— yang diterbitkan dalam buku kumpulan
sajak berjudul Lumbung Perjumpaan. Namun berbeda dengan LPSI,
kumpulan sajak Agus yang diterbitkan Komodo Book, Depok itu
fokus mempresentasikan kupasan dan tanggapannya secara pribadi
menyoal gagasan para tokoh sastra di berbagai belahan dunia,
termasuk Indonesia. Sementara LPSI sejak terbit perdana hingga
jilid ke tiga ini menampung karya puisi dari puluhan bahkan ratusan
penulis terkini, menyoal tema-tema tertentu yang disodorkan oleh
Rg Bagus Warsono, motor penerbitan ini.
Jika merujuk kepada fungsi dan posisi lumbung padi sebagai
penjaga ketahanan pangan masyarakat di masa lalu –utamanya
saat menghadapi musim paceklik yang disebabkan oleh gagal
panen lantaran serangan hama, kekeringan berkepanjangan atau
bencana alam— maka boleh jadi di tataran kehidupan sastra kita
LPSI diharapkan pula bakal mampu menciptakan ketahanan puisi
di tengah-tengah masyarakat. Sehingga dengan demikian tak akan
bakal terjadi paceklik puisi di masa nanti. (Sosiawan Leak, penyair tinggal di Solo)